Di era digital kini, adakah manusia di usia produktif yang tidak memiliki akun Facebook, Instagram, Tiktok atau X? Menurut dataindonesia.id jumlah pengguna sosial media di Indonesia mencapai 60,4% dari jumlah populasi. Bagi sebagian orang, media sosial digunakan untuk mendapatkan segala informasi dengan cepat dan mudah. Bagi sebagian lagi, media sosial digunakan untuk mencari nafkah, seperti influencer, selebgram, tiktokers, dll.
Dengan maraknya konten yang dibuat oleh influencer meningkatkan daya konsumtif berlebih yang pada akhirnya membawa banyak orang terjerumus ke dalam arus kapitalis.
Para kapitalis melakukan pembodohan-pembodohan massal dengan cara hegemonisasi, mempromosikan dan melakukan iklan terselubung melalui influencer menggunakan media sosial. Sebagai contoh, anggapan bahwa menggunakan brand  luar negeri dianggap high classs, atau anak muda tidak boleh ketinggalan nonton konser artis tertentu. Melalui hegemonisasi, kapitalis telah memudarkan perbedaan tegas antara kebutuhan dengan kemauan. Â
Saya pun tidak luput dari genggaman kapitalis. Ketika akan mempersiapkan pernikahan, saya malah disibukkan dengan mempersiapkan pernikahan yang hanya akan digelar dalam 1 hari, bukannya memperbanyak ilmu dan belajar bagaimana menjalani rumah tangga  yang akan berlangsung seumur hidup.
Takut akan kehilangan momen menjadi princess dalam satu hari mempengaruhi saya. Akibatnya, saya lebih banyak mengeluarkan biaya untuk memenuhi hasrat tersebut. Membeli sejumlah kain untuk bridesmaid, melakukan prewedding dengan konsep kekinian, reservasi tempat honeymoon yang viral.
Itu semua adalah produk kapital. Para kapitalis  mendorong agar mereka selalu melayani kemauan atau keinginan masyarakat, padahal apa yang kita inginkan belum tentu kita butuhkan secara riil.
Apa yang saya dan kita semua alami tersebut disebut sebagai sindrom FoMO, Fear of Missing Out. FoMO dapat membuat kita mengeluarkan lebih banyak uang. Rasa cemas akan ketertinggalan membuat adanya pengeluaran yang tidak krusial hanya untuk memuaskan ego dan mendapatkan validasi dari orang lain.
Seringkali ketika menikmati waktu luang, muncul video konten dari banyak influencer mempromosikan produk yang sama di waktu yang sama. Hal tersebut akan tertanam di pikiran dan membangkitkan hasrat untuk membeli. Orang yang terkena FoMO akan rela melakukan apa saja untuk mengikuti tren terkini hingga mengeluarkan dana diluar batas.
Masih ingat dengan banyaknya pemberitaan meledaknya pinjol menjelang konser Coldplay? Bukti bahwa banyak orang yang dibodohi oleh kapitalis. Terutama millennial yang FoMo demi tren untuk flexing di media sosial.
Manusia disibukkan  dengan produk-produk kapitalis. Dari bangun tidur hingga tidur kembali. Ketika akan tidur kita dipusingkan dengan berbagai pilihan brand pakaian tidur, warna dan motif yang sedang tren. Ketika menjalani hari, kita disibukkan dengan produk-produk kosmetik, outfit OOTD, tas, sepatu, bahkan kuliner dan jajanan yang tidak ada matinya yang disiarkan melalui media sosial.
Tanpa disadari kita telah dibodohi oleh kapitalisme.
Selain FoMo, false consciousness atau kesadaran palsu merupakan salah satu dampak dari proses kapitalisme. Karl marx menyebutnya sebagai ketidakmampuan untuk mengenali ketidaksetaraan, penindasan dan eksploitasi dalam masyarakat kapitalis. Artinya, kesadaran palsu adalah bentuk manipulasi kaum kapitalis untuk tidak menyadari bahwa sebenarnya sedang berada dalam eksploitasi kapitalisme.
Marx melihat kesadaran palsu sebagai produk dari sistem sosial ekonomi yang tidak setara yang dikendalikan oleh kaum borjuis terhadap kaum proletar, yaitu dengan memberikan upah minimum kepada para pekerja demi keuntungan yang sebesar-besarnya kepada para pemilik modal.
Sedangkan dalam kehidupan sehari-hari, kita juga dihantui oleh kesadaran palsu yang merupakan produk dari kapitalis ini. Propaganda kaum kapitalis untuk mendorong masyarakat menjadi lebih hedon dalam menghabiskan uang untuk pesta pernikahan juga tergolong sebagai false consciousness. Karena bias terhadap kebutuhan dan keinginan.
Banyak contoh lainnya, seperti perayaan hari valentine yang identik dengan coklat, bunga, makan malam mewah nan romantis. Bukankah itu semua hanya tentang kapitalisme?
Di era kekuasaan media, produksi citra sebuah brand oleh mesin kapitalis membabi buta tanpa henti. Sebaiknya kita lebih bijak dalam mengambil setiap keputusan yang akan diambil. Sebagai new mom, lagi-lagi saya dibuat bingung oleh produk yang menggambarkan seolah-olah bayi baru lahir diwajibkan menggunakan sebagai macam produk skincare. Padahal jaman dulu, bayi hanya menggunakan minyak telon dan bedak. Namun berbeda dengan era sekarang ini. Begitu banyak produk yang biasanya dipakai oleh orang dewasa, kini ada untuk bayi. Dan sosial media membuat seolah hal itu penting dan harus dipakaikan kepada bayi.
Karenanya, saya harus lebih banyak meluangkan waktu untuk lebih selektif untuk memilah mana yang benar-benar kebutuhan primer atau hanya mengikuti hasrat FoMO dan berakhir dengan false consciousness.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H