demokrasi seperti sebuah omong kosong. Agaknya, demokrasi hanya sebuah cangkang yang didalamnya berisi oligarki, tirani dan kleptokrasi.
Pada era saat ini,Demokrasi tidaklah buruk. Saya termasuk orang yang menjunjung tinggi nilai demokrasi. Hanya saja, orang-orang didalamnya yang mencederai nilai-nilai dari demokrasi itu sendiri.
Sudan Selatan adalah satu satu contoh negara dengan demokrasi yang cacat. Pasalnya, elite politik di Sudan Selatan terus terjebak dalam arus kuat menuju lingkaran kleptokrasi.
Sama seperti kata klepto yang kita pahami pada umumnya. Klepto dalam dunia politik juga pencuri, lebih tepatnya kekuasaan para maling. Para maling yang berkedok sebagai penguasa.
Habermas menyebutnya sebagai politisi pencuri.
Mereka adalah orang-orang yang memiliki power untuk memperoleh kekayaan pribadi sambil memegang jabatan publik.
Istilah kleptokrasi itu sendiri dikenalkan oleh Stanislav Anderski (1968), yang menekankan pada elite yang mengabdikan dirinya dalam puncak kekuasaan untuk pengayaan pribadi. Sejalan dengan Anderski, Frederic Bastiat menyebut istilah yang sama pada negara yang praktiknya penuh dengan tindakan ilegal dan korupsi.
Di Sudan Selatan, para elite yang juga di gadang-gadang sebagai pahlawan kemerdekaan memiliki legitimasi untuk menguasai negara baru tersebut. Ironisnya, mereka mempraktekkan sistem kleptokrasi untuk melanggengkan kekuasaan yang diperolehnya melalui perang saudara selama 50 tahun dengan Sudan itu.
Saya pribadi, setuju dengan kemerdekaan Sudan Selatan. Karena sejarah mengatakan bahwa orang Selatan di Sudan Lama mengalami diskriminasi, pengucilan serta perbudakan yang mengerikan. Sehingga orang Selatan pada dasarnya memiliki hak kebebasan dari belenggu segala bentuk penindasan yang dilakukan oleh orang Utara.
Namun, kembali lagi. Pada dasarnya, orang yang sudah merasakan nikmatnya kekuasaan, ia akan terpedaya. Atau mungkin memang mengejar kekuasaan untuk melakukan berbagai tipu daya untuk kepentingan sendiri dan golongannya. Sama halnya dengan elite Sudan Selatan. Mereka lupa akan pertumpahan darah yang dialami untuk kemerdekaan. Sebagaimana Lord Acton mengatakan bahwa kekuasaan cenderung korup.
Salva Kiir yang menggantikan John Garang dalam memimpin Sudan Selatan pasca merdeka, mengeruk dana dengan menggunakan kekuasaan di pemerintahan dan mencederai nilai-nilai demokrasi yang digemborkan pada saat Sudan Selatan berjuang untuk kemerdekaan.
Akibatnya, elite yang kleptokrasi hanya menghancurkan harapan untuk sebuah negara demokratis, dan hanya menggantikan satu penindas dengan yang lain. Jika dulu Sudan Selatan mengalami penindasan oleh Sudan, kini Sudan Selatan mengalami penindasan oleh para penguasanya sendiri.
Tanpa malu, mereka menjadi mata rantai kaum klepto dan menjadi penunggang bebas kekuasaan yang sangat menindas rakyat kecil dan minoritas. Mereka juga tanpa ragu melakukan tindakan curang dalam pemilihan umum, mengendalikan pengadilan, dan melumpuhkan birokrasi negara dengan korupsi.
Korupsi dan nepotisme di Sudan Selatan hadir di semua sektor ekonomi dan seluruh jajaran aparatur negara. Tindakan korupsi dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, seperti korupsi keuangan dan politik, kesukuan yang meluas, dan penyalahgunaan yang meluas.
Contoh korupsi di tingkat birokrasi warga terjadi ketika melakukan bisnis di ibukota Juba. Sejumlah besar dokumen, pembayaran, dan prosedur yang diperlukan saat operasi bisnis dapat dipastikan pejabat publik meminta suap dan uang pelicin untuk membengkokkan aturan atau mempercepat proses birokrasi.
Kemudian, seorang pengusaha di Juba harus menjalani 11 prosedur, 15 hari, dan menghabiskan 250,2% dari pendapatan per kapita untuk membuka bisnis. Fenomena korupsi seperti menjadi sebuah keharusan dalam setiap elemen.
Korupsi politik juga terjadi saat pemilihan umum pertama terjadi di tahun 2010. Saat itu sebuah fakta ditemukan bahwa pada bulan-bulan sebelum pemilu April 2010, beberapa orang yang diduga menentang SPLM telah diseret, ditangkap, dan ditahan oleh aparat keamanan. Termasuk jurnalis dan anggota oposisi. Hal tersebut menghasilkan pemilu yang tidak memenuhi sejumlah prosedur standar internasional untuk pemilihan secara demokratis yang utuh.
Lebih jauh, sebuah laporan di September 2019 dari The Sentry, sebuah LSM yang berbasis di AS, mencatat bahwa Winnie Kiir, putri presiden, membentuk usaha pertambangan dengan kelompok investasi China pada 2016. Usaha itu menerima izin eksplorasi akhir tahun itu, setelah penduduk di wilayah terdampak dipindahkan secara paksa oleh militer.
Kemudian, pada Februari 2019, Guardian, sebuah surat kabar Inggris, melaporkan bahwa dana yang dialokasikan untuk implementasi kesepakatan damai Sudan Selatan digunakan untuk merenovasi rumah presiden pertama Taban Deng Gai serta individu lain yang diharapkan menjadi wakil presiden.
Kita bisa melihat, bahwa praktik korupsi, nepotisme, dan persekongkolan kejahatan dilakukan oleh elite yang memiliki kekuasaan atau wewenang untuk mempengaruhi kebijakan.
Di Sudan Selatan, kita bisa melihatnya dari latar belakang elite Sudan Selatan. Elite politik di Sudan Selatan dibentuk dengan mengadopsi wakil dari pejuang kemerdekaan dan etnis mayoritas di Sudan Selatan, yaitu etnis Dinka. Konsekuensinya, anggota elite politik tidak terseleksi berdasarkan sikap profesionalisme, tapi tunduk pada kebijakan partai, bahkan pada Kiir dan Dinka.
Pemerintahan Sudan Selatan sebagian besar dikuasai oleh SPLM. Kepemimpinannya tergelincir ke dalam pendekatan pemerintahan etnosentris yang sangat bergantung pada nepotisme dibandingkan penunjukan politik berdasarkan keterampilan dan kualifikasi calon potensial.
Di bawah kepemimpinan Kiir, SPLM telah mengesampingkan warga yang bukan anggota kelompok etnis Dinka. Akibatnya, peluang politik selain Dinka dipersulit oleh adanya aturan pengecualian etnis. Praktik tersebut telah menyebabkan lemahnya sistem pemerintahan, partai politik, dan fungsi birokrasi tempat etnis minoritas tidak memiliki pengaruh dan keterwakilan yang setara di pemerintahan dan militer.
Hegemoni etnis Dinka bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan mereka dalam memimpin pemerintahan Sudan Selatan. Ini sejalan dengan narasi yang dibangun oleh Gramsci. Untuk mendapatkan kekuasaan dan kepemimpinan politik, seseorang membutuhkan dukungan mayoritas. Ini berfungsi baik sebagai instrumen untuk merebut kekuasaan atau pun mempertahankannya.
Praktek kleptokrasi yang dilakukan oleh elit Sudan Selatan jelas merusak proses konsolidasi demokrasi di Sudan Selatan. Para elite menggunakan kuasa yang ada dalam genggamannya untuk memperkaya diri ataupun kelompoknya, khususnya etnis Dinka.
Korupsi benar-benar telah menjadi sebuah fenomena kontekstual. Tidak lagi sembunyi-sembunyi. Tidak ada pula yang ditakuti karena hampir semua lembaga yang ditugasi memberantas korupsi malah terjebak dalam permainan mafia koruptor.
Ibarat caffeine, drugs dan sex --- korupsi adalah candu. Terlebih, jika sistem pengawasan hukum lemah dan kekuasaan dikendalikan oleh para pemburu rente. Kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi tetap mengalir sampai jauh, menjangkiti seluruh simpul pokok negara dari hulu ke hilir dan berkelindan dengan kekuasaan di legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Demokrasi menjadi sebuah omong kosong.
Indonesia telah lama menganut sistem demokrasi. Namun, demokrasi di Indonesia masih cenderung procedural ketimbang substansial. Kemunduran demokrasi terus terjadi. Bahkan sudah banyak peneliti dan pengamat politik bersama dengan berbagai sumber penelitiannya menyatakan bahwa Indonesia sudah memasuki lingkaran setan kleptokrasi.
What do you think?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H