Liberalisme, sejauh ini kita mengenalnya sebagai ideologi yang menekankan nilai kebebasan dan persamaan hak berpikir dan berekspresi, HAM, dan anti diskriminasi, anti hegemoni dan anti penindasan.
Kisah liberal memang menjunjung nilai dan kekuatan kebebasan. Sedangkan dalam bahasa inggris, kata bebas terdapat dalam 3 kata berikut: freedom, liberty, dan independent. Ketiganya memiliki arti bebas. Namun jika dimaknai lebih luas, freedom, bebas dari hal negatif. Liberty, bebas untuk melakukan apapun. Independent, tidak terikat oleh apapun.
Di Indonesia, liberal dan liberalisme masuk ke dalam fatwa yang diharamkan oleh MUI. Karena, menurutnya, liberalisme merupakan pembuka jalan untuk pluralisme dan sekularisme.
Di luar itu, liberalisme datang untuk menghargai kebebasan dan hak-hak manusia tanpa kecuali, hadir menyatukan dunia melalui perdagangan bebas dengan damai.
Liberalisme menang atas imperialisme, fasisme dan komunisme dengan mengadopsi beberapa ide dan praktik dari liberalisme. Yaitu, menekankan prinsip-prinsip kebebasan, perdamaian dan menghargai kesetaraan.
Jika dilihat dari konteks sejarah, liberalisme lahir dari Revolusi Perancis dan Revolusi Amerika. Dari 2 peristiwa besar tersebut telah merubah tatanan politik dunia, yaitu dari monarki menjadi negara bangsa, monarchy to nation-state.
Revolusi tersebut muncul akibat adanya kesadaran akan kesetaraan manusia, bahwa manusia pada dasarnya setara, dan yang membedakannya selama ini hanyalah rekayasa sosial dan rekayasa politik, menciptakan status manusia menjadi kaum elit, borjuis dan budak. Sehingga muncul pemberontakan-pemberontakan terhadap raja-raja yang berkuasa pada saat itu dan merubah tatanan politik menjadi nation-state.
Thomas Hobbes dan John Locke, adalah dua tokoh yang mengenalkan istilah kekuasaan negara dan lembaga perwakilan dalam nation-state yang hingga saat ini diterapkan di berbagai dunia, termasuk Indonesia dan beberapa negara di Timur Tengah.
Paket liberal terdiri dari demokrasi, hak asasi manusia, pasar bebas dan pelayanan kesejahteraan pemerintah. Namun tidak dengan demokratisasi di Timur Tengah. Jauh dari prinsip kebebasan, perdamaian dan kesejahteraan. Justru hanya menyisakan penderitaan dan kesengsaraan.
Liberalisasi dan demokratisasi oleh Barat di Timur Tengah adalah upaya penipuan besar yang memberikan kekuasaan pada segelintir elit dengan mengorbankan massa.
Contoh nyatanya, adalah Libya. Negara pertama yang mengalami pergolakan politik akibat agenda demokratisasi, yang kemudian disusul oleh negara lainnya.
Di berbagai media kita sering kali di suguhkan informasi bahwa dalam peristiwa Arab Spring, masyarakat Arab berbondong-bondong turun ke jalan untuk memperjuangkan demokrasi, hak asasi manusia dan kesejahteraan yang lebih layak.
Namun, jika kita lebih kritis lagi. Demokratisasi hanyalah cangkang. Yang menjadi agenda utama adalah sumber daya minyak. Perancis memiliki kepentingan minyak di Libya, di mana salah satu ladang minyak terbesar di Libya dikelola oleh perusahaan asal Prancis, yaitu perusahaan total.
Perancis memprovokasi masyarakat Libya untuk menurunkan Gaddafi oleh wacana demokrasi dan reformasi. Alasannya adalah, Gadaffi yang menjunjung tinggi nilai sosialis dan menguasai energi minyak di dunia tidak memberikan kesempatan bagi Barat.
Pada akhirnya, Barat menggunakan nilai ideologi demokrasi untuk menghancurkan Gaddafi menggunakan masyarakat Libya.
Agendanya, angkatan bersenjata dari Amerika Serikat, Inggris dan Perancis membantu masyarakat Libya untuk melakukan perlawanan terhadap Gaddafi. Hingga Gaddafi berhasil dijatuhkan dan tewas di tangan rakyatnya sendiri.
Sehingga apa yang terjadi di Libya, hanyalah agenda global untuk melawan Gaddafi dan pengamanan aset Barat yang ada di Libya.
Pertanyaannya, apakah masyarakat Libya benar-benar menginginkan sebuah demokrasi?
Jawabannya adalah tidak. Etnik yang terbelah di Libya tidaklah memperjuangkan nilai demokrasi, melainkan memperebutkan sumber daya alam itu sendiri. Libya adalah negara yang kaya minyak, gas alam dan gypsum. Ekonominya tergantung pada sektor minyak yang mewakili 95% dari ekspor.
Kita bisa lihat bagaimana indeks demokrasi di Timur Tengah dari tahun pergolakan Arab Spring, 2011 hingga tahun 2023, dimana Libya memiliki indeks demokrasi yang sangat buruk.
Intervensi Barat ini juga terjadi di Suriah, Mesir, Irak, Sudan Selatan, Mesir bahkan Afghanistan. Barat menggambarkan arus demokratisasi di Timur Tengah untuk mengamankan aset di wilayah Timur Tengah.
Artinya, demokrasi di Timur Tengah hanyalah ideologi yang digunakan oleh sebagian kelompok pro-barat untuk legitimasi publik dalam meraih kekuasaan. Dengan berhasil menjatuhkan rezim otokratis yang berkuasa sebelumnya, membuat label "pahlawan" kepada pemberontak yang berjuang dalam masa transisi. Hal ini hanya menciptakan praktik kekuasaan oligarki di bawah agenda demokrasi dan menciptakan pemberontak-pemberontak lainnya. Akhirnya, menjadi pengulangan sejarah dan penderitaan yang tidak ada akhir bagi masyarakat Timur Tengah.
Dalam beberapa penelitian, disebutkan bahwa masyarakat Timur Tengah lebih cenderung nyaman dengan rezim otokratik atau yang disebut oleh Barat sebagai diktator.
Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan rezim politik yang ada di negara teluk seperti Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab. Ketiganya jauh dari pemikiran demokrasi dan tetap mempertahankan sistem otokratis sebagai sistem politiknya.
Namun, di sisi lain, Arab Saudi, Qatar dan Uni Emirat Arab lebih condong ke arah modernisasi.
Arab Saudi misalnya, sedang semangat menggenjot kebebasan di negara nya dengan cara lain, bukan dengan demokrasi. Yaitu, modernisasi di Saudi melalui visi 2030 yang diusung oleh Muhammad bin Salman. Padahal, Arab Saudi merupakan negara penghasil minyak terbesar di Timur Tengah, tentu sangat mudah bagi Barat untuk menyulut pergolakan politik.
Yang membedakan adalah, Elit Arab Saudi paham betul bahwa dengan hanya mengandalkan satu komoditas saja, yaitu minyak, sebagai roda ekonomi menyebabkan sektor lain tidak dapat berkembang. Sehingga mereka mengembangkan sektor budaya dan pariwisata untuk mengundang investor dan wisatawan luar untuk meningkatnya ekonomi nya melalui visi 2030.
Diluar minyak, Timur Tengah juga menjadi pasar industri alutsista Barat. Dengan lakunya agenda perang di Timur Tengah, semakin laris juga perdagangan senjata Barat di Timur Tengah.
Contoh kecilnya, adanya kesepakatan hubungan normalisasi antara Bahrain dengan Israel adalah untuk keuntungan Bahrain dalam mendapatkan kesempatan untuk memasukkan perdagangan senjata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H