Dalam beberapa penelitian, disebutkan bahwa masyarakat Timur Tengah lebih cenderung nyaman dengan rezim otokratik atau yang disebut oleh Barat sebagai diktator.
Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan rezim politik yang ada di negara teluk seperti Arab Saudi, Qatar, dan Uni Emirat Arab. Ketiganya jauh dari pemikiran demokrasi dan tetap mempertahankan sistem otokratis sebagai sistem politiknya.
Namun, di sisi lain, Arab Saudi, Qatar dan Uni Emirat Arab lebih condong ke arah modernisasi.
Arab Saudi misalnya, sedang semangat menggenjot kebebasan di negara nya dengan cara lain, bukan dengan demokrasi. Yaitu, modernisasi di Saudi melalui visi 2030 yang diusung oleh Muhammad bin Salman. Padahal, Arab Saudi merupakan negara penghasil minyak terbesar di Timur Tengah, tentu sangat mudah bagi Barat untuk menyulut pergolakan politik.
Yang membedakan adalah, Elit Arab Saudi paham betul bahwa dengan hanya mengandalkan satu komoditas saja, yaitu minyak, sebagai roda ekonomi menyebabkan sektor lain tidak dapat berkembang. Sehingga mereka mengembangkan sektor budaya dan pariwisata untuk mengundang investor dan wisatawan luar untuk meningkatnya ekonomi nya melalui visi 2030.
Diluar minyak, Timur Tengah juga menjadi pasar industri alutsista Barat. Dengan lakunya agenda perang di Timur Tengah, semakin laris juga perdagangan senjata Barat di Timur Tengah.
Contoh kecilnya, adanya kesepakatan hubungan normalisasi antara Bahrain dengan Israel adalah untuk keuntungan Bahrain dalam mendapatkan kesempatan untuk memasukkan perdagangan senjata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H