Mohon tunggu...
Ani Mariani
Ani Mariani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Middle Eastern Studies | International Relation Analysis | Political, Economic, Religion, Social, Religion, Feminism Enthusiast | Research | Writer

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Poligami: Arogansi Laki-laki dalam Pernikahan

3 April 2024   10:24 Diperbarui: 3 April 2024   10:27 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tulisan kali ini berangkat dari obrolan singkat bersama rekan saya, yang juga pelaku poligami. Ditengah obrolan, Ia menceritakan sedikit mengenai pandangannya mengenai poligami. Dengan percaya diri Ia berkata bahwa, 'psikologis perempuan diciptakan untuk menerima poligami'.

Respon saya saat itu hanya ikut larut dalam obrolan. Karena bagi para pelaku poligami, keputusannya tersebut merupakan kebenaran mutlak yang tidak bisa dibantah oleh pemikiran apapun. Jadi percuma saja beradu argument.

Disini saya sama sekali tidak menyinggung praktik poligami yang dilakukan oleh rasul terdahulu. Saya membicarakan praktik poligami di masa kini. Karena jika bicara mengenai latar belakang, alasan dan proses poligami rasul dengan laki-laki pada saat ini tentu berbeda jika dilihat dari moralitas, konteks sejarah dan psikologi perempuan.

Apakah poligami itu kriminalitas?

Laki-laki yang memiliki banyak istri bukanlah suatu kejahatan jika sudah menjadi kebiasaan, dan sekarang ini merupakan kejahatan karena tidak lagi menjadi kebiasaan.

Zaman dulu praktik poligami merupakan kebiasaan untuk meningkatkan Prokreasi. Laki-laki dapat dengan bebas memiliki istri dalam jumlah banyak sedangkan hak perempuan tidak berarti apa-apa. Perbudakan seksual perempuan menjadi sistem yang terorganisir. Perempuan yang keberatan, atau menolak rayuan seksual suaminya apalagi memprotes poligami akan langsung dieksekusi.

Karenanya, pada saat itu kaum liberal Pencerahan menolak poligami sebagai pengkhianatan terhadap nalar, alam, kegunaan, keadilan, kebebasan, dan akal sehat. Banyak para filsuf yang juga menentang poligami. John Locke, misalnya, menganggap poligami sebagai pelanggaran terhadap kesetaraan alami antara laki-laki dan perempuan, serta hak alami anak untuk diasuh dengan baik dan didukung sepenuhnya oleh ibu dan ayah mereka. Filsuf Skotlandia Henry Home dan David Hume berpendapat bahwa poligami akan melahirkan patriarki tirani. 

William Blackstone juga mengutuk poligami sebagai pelanggaran yang "sangat biadab" terhadap hak dan kewajiban alamiah timbal balik antara suami dan istri. Poligami, baginya, merupakan pelanggaran berat terhadap kesehatan masyarakat dan ketertiban umum. 

Gambaran sejarah dan pemikiran para filsuf telah memberikan pandangan bagaimana poligami lebih banyak mencederai hak perempuan. Saat ini, sudah banyak undang-undang umum yang melarang kekerasan terhadap istri dan anak; pernikahan paksa dan pemerkosaan terhadap gadis-gadis muda; merampas makanan, tempat tinggal, dan pendidikan bagi anak-anak; penyalahgunaan kesejahteraan; dan banyak lagi. Namun terlalu sedikit undang-undang yang memberikan dukungan dan perlindungan bagi mereka yang rentan akibat poligami.

Poligami dalam Konteks Sejarah

Poligami dalam konteks sejarah memiliki makna yang berbeda. Bukan menambah jumlah istri, justru membatasi jumlah kepemilikan istri. Sejarah mengatakan bahwa praktik poligami sudah banyak dilakukan bahkan sebelum islam datang. Laki-laki bebas memiliki puluhan atau bahkan ratusan. Kemudian islam datang untuk memberikan limit terhadap jumlah istri.

Yang jelas kita semua tahu bahwa setiap ayat yang turun memiliki asbabun nuzul, alasan mengapa ayat tersebut turun. Artinya, poligami di masa lampau hadir untuk mengangkat harkat, martabat dan kemanusiaan bagi perempuan. Ketika pada masa itu laki-laki dengan bebas memiliki puluhan istri, atau bahkan tanpa batas. Kemudian syari'at islam mengatur keadilannya dan membatasinya hanya maksimal 4 istri, jika mampu bersikap adil. 

Sudah jelas bahwa ayat tersebut turun untuk membatasi jumlah istri. Bermaksud untuk memuliakan perempuan. Maka betapa memalukannya, bila syari'at yang baik ini, kini tercoreng karena pelaksanaannya justru tidak memuliakan perempuan.

Para pelaku poligami cenderung menolak fakta sejarah ini. Mereka hanya memilih dan menafsirkan ayat demi kepentingan dan keuntungannya sendiri. Mereka memilih perempuan yang dapat diperdaya dengan diimingi surga tanpa hisab. 

Psikologis Perempuan

Pertanyaan-pertanyaan umum dalam poligami sekitar tolak ukur adil dalam poligami itu seperti apa? Apakah perasaan manusia bisa diukur? Darimana kita tahu bahwa adil tersebut sudah tercipta? Pembagian jatah tidur bersama? Pembagian nominal saldo? Lalu bagaimana dengan kerelaan hati, kepantasan, keadilan terkait perasaan dan psikologis? Apakah sudah dipastikan bahwa tindakan poligami tidak menzhalimi pasangannya?

Kenyataannya, kasus poligami yang umum seringkali melibatkan pihak-pihak rentan. Karenanya, poligami dapat menjadi kekerasan psikis terhadap perempuan--bagi yang menerima dengan terpaksa karena keadaan.  Seperti perempuan yang bergantung secara ekonomi terhadap suami. Perempuan yang tidak memiliki pengetahuan, sumber daya, atau koneksi untuk mendapatkan perlindungan diri dan pertolongan diri.

"cinta yang bengkok" ini merugikan perempuan, karena mereka direduksi menjadi budak saingan dalam rumah tangga, dieksploitasi untuk seks. Praktik poligami seringkali mengalami peningkatan kekerasan fisik dan seksual terhadap perempuan, rendahnya tingkat kesetaraan bagi perempuan, tingginya tingkat diskriminasi terhadap perempuan, perselingkuhan, pengabaian, pelanggaran kesejahteraan, dan banyak lagi.

Poligami tidak hanya melanggar hukum kodrat tetapi juga hak kodrat istri dan anak, yaitu kesetiaan dan kepercayaan dalam perkawinan, atas harta benda perkawinan dan keamanan materi yang berkelanjutan.

Faktanya juga, tidak hanya perempuan saja yang dirugikan. Laki-laki juga dapat mengalami hal yang sama. Laki-laki dirugikan karena mereka tidak punya waktu, energi, atau sumber daya untuk mendukung rumah tangga mereka yang berpoligami dan karena pikiran dan hati mereka tidak bisa tenang. Laki-laki harus memiliki energi lebih untuk memenuhi syarat 'adil' dalam rumah tangga.

Penutup

Bagi saya, menentang poligami ini akan terus berlanjut, terlepas dari seberapa liberalnya kita dalam urusan seks dan struktur keluarga. Banyak bukti menunjukkan bahwa sebagian besar laki-laki dan perempuan sama-sama secara naluriah tertarik pada keintiman dengan pasangan tunggal dalam jangka panjang. Dan secara naluriah merasa jijik dan marah jika dipaksa berbagi ranjang dan berpasangan dengan pihak ketiga.

Dan juga, dengan atau tanpa menikahi banyak perempuan, perempuan menjadi sumber nafsu dan godaan bagi laki-laki. Perempuan selalu menjadi objek seksualitas. Sehingga poligami bukan jalan keluar untuk mengatasi tingginya hasrat laki-laki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun