busur terlepas dari tamparnya,Â
Waktu sepertiMenghunus tanpa henti, menembus jiwa yang bergetar.Â
Setiap detik berlari, tak peduli penat yang menghimpit,Â
Ingin kuhentikan sejenak, agar damai menyelimuti hati yang lelah.
Saat langkah terasa berat, seperti beban tak terhingga,Â
Ingin kutemukan seberkas cahaya di ujung lorong sunyi.Â
Namun, apalah daya, tubuh ini takkan siap,Â
Terhunus busur waktu, melukaku dengan tajam,Â
Membawa harapan dan mimpi, mengalir dalam relung jiwa.
Rasa syukur dan tafakur, kupegang erat,Â
Obat penanti, menunggu saat yang kelam,Â
Mengajakku berintrospeksi, di tengah keriuhan dunia,Â
Setiap detik adalah anugerah, walau terikat batas.
Di sisa waktu ini, aku berikrar,Â
Menjadi lilin bagi sesama, penerang dalam gelap,Â
Entah bagaimana caranya, kuambil langkah ini,Â
Menulis, sekadar bait, meski tak berarti bagimu,Â
Namun setiap kata adalah napas, harapan, sebuah sajak.
Kuhimpun kenangan, kisah yang terpendam,Â
Sebuah perjalanan, yang takkan pernah usai,Â
Dalam setiap goresan, ada jejak jiwa,Â
Semua rasa yang tertinggal, tak akan hilang sia-sia.
Semoga kau dengar, semoga kau rasa,Â
Dalam tiap tulisanku, ada alunan suara,Â
Sebuah permohonan, untuk berbagi cahaya,Â
Di antara kita, meski jarak memisahkan.
Di setiap malam sunyi, saat bintang berkelip,Â
Ku tuliskan harapan, pada lembaran yang hening,Â
Meskipun tak sempurna, setiap bait mengalir,Â
Menjadi pengingat, bahwa kita tak sendiri.
Mungkin tak semua mengerti, makna di balik kata,Â
Namun aku percaya, di suatu saat nanti,Â
Satu bait sederhana ini, akan menemukan jalannya,Â
Menjadi jembatan, untuk menyentuh hati yang mencari.
Dan saat waktu akhirnya berhenti,Â
Semoga ku bisa tersenyum, penuh rasa syukur,Â
Karena dalam setiap detik, aku telah mencoba,Â
Menjadi lilin bagi sesama, menerangi jalan yang gelap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H