Mohon tunggu...
Anik NurAini
Anik NurAini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa FIA UB

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dekonstruksi Norma HAM

13 Desember 2023   17:25 Diperbarui: 13 Desember 2023   18:38 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://news.republika.co.id

Untuk itu dibutuhkan suatu solusi praktis yang dapat menekan angka pelanggaran. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memperjuangkan HAM di Nusantara adalah melalui dekonstruksi norma. Dekonstruksi norma merupakan upaya untuk membongkar dan merekonstruksi norma-norma yang ada, dengan tujuan untuk menghapuskan unsur-unsur diskriminatif dan represif dalam norma tersebut. Dalam konteks HAM, dekonstruksi norma dapat dilakukan dengan mengkaji ulang instrumen hukum HAM yang ada, baik yang bersifat internasional maupun nasional. Hal ini bertujuan untuk menemukan kesenjangan antara norma HAM yang diakui dan dijamin oleh hukum, dengan praktik yang terjadi di lapangan.

Hal pertama yang dapat dilakukan ialah dengan melakukan analisis kritis terhadap instrumen hukum HAM. Analisis kritis terhadap instrumen hukum HAM adalah upaya untuk memahami instrumen hukum tersebut secara mendalam, dengan cara mengkaji berbagai aspeknya, baik dari segi historis, filosofis, maupun praktis. 

Analisis ini juga dapat dilakukan dengan membandingkan instrumen hukum HAM dari berbagai negara, untuk melihat perbedaan dan persamaannya. Analisis ini bertujuan untuk memahami mengapa instrumen hukum tersebut dibentuk, apa tujuannya, dan apa faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Dengan memahami latar belakang pembentukannya, maka akan semakin memahami makna dan nilai-nilai yang terkandung dalam instrumen hukum tersebut. Selanjutnya ialah melakukan kajian empiris terhadap praktik HAM di lapangan. 

Kajian empiris ini dapat dilakukan dengan cara mengamati dan mengumpulkan data tentang pelaksanaan HAM di berbagai bidang, seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan hukum. Kajian ini dapat dilakukan dengan metode penelitian kualitatif maupun kuantitatif. Dekonstruksi norma dapat mendorong dialog dan negosiasi antara berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, dan akademisi. Dialog dan negosiasi ini dapat menghasilkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang HAM, dan dapat mendorong perubahan kebijakan dan praktik yang diskriminatif terhadap kelompok-kelompok rentan.

Instrumen yang sudah dianalisis dengan kajian yang benar harus disesuaikan dan dipraktikkan di lapangan. Dekontruksi norma ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya ialah meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya HAM. Hal yang paling dapat menjadi senjata dalam upaya peningkatan kesadaran masyarakat adalah dengan melalui pendidikan. 

Oleh sebab itu dibutuhkan dekontruksi HAM dalam pendidikan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya HAM. Sayangnya, pendidikan HAM di Indonesia masih belum memadai. Pendidikan HAM hanya diberikan di tingkat pendidikan tertentu, seperti perguruan tinggi, dan belum menjadi bagian dari kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Oleh karena itu, pendidikan harus memberikan pemahaman tentang konsep HAM, hak-hak yang melekat pada setiap orang, dan pentingnya melindungi HAM.

Selanjutnya ialah menghapuskan unsur-unsur diskriminatif dan represif dalam norma tentang HAM. Unsur diskriminatif dalam norma tentang HAM adalah unsur yang membedakan perlakuan terhadap orang-orang atas dasar perbedaan ras, suku, agama, jenis kelamin, bahasa, atau status sosial lainnya. Sedangkan Unsur represif dalam norma tentang HAM adalah unsur yang membatasi kebebasan dan hak-hak orang-orang. Kedua unsur tersebut dapat berdampak negatif bagi orang-orang yang menjadi korban diskriminasi. Mereka dapat mengalami kesulitan untuk mengakses hak-hak mereka, seperti hak pendidikan, hak kerja, dan hak kesehatan. Selain itu, mereka juga dapat menjadi sasaran diskriminasi dan kekerasan. 

Untuk menghapuskan unsur diskriminatif dalam norma tentang HAM, diperlukan upaya yang berkelanjutan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, dan organisasi internasional. Salah satu contoh penghapusan unsur-unsur diskriminatif dan represif dalam norma tentang HAM ialah pembatalan pasal-pasal dalam KUHP yang diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok minoritas. Diantara pasal tersebut salah satunya ialah pasal 411-413 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur tentang tindak pidana perzinahan. Tindak pidana perzinahan didefinisikan sebagai persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami atau istri. Pasal 411 KUHP mengatur tentang perzinahan yang dilakukan oleh seorang perempuan yang bersuami. Pasal ini menyatakan bahwa:

"Setiap perempuan yang bersuami yang melakukan persetubuhan dengan laki-laki lain di luar perkawinan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan. Setiap perempuan yang tidak bersuami yang melakukan persetubuhan dengan laki-laki lain di luar perkawinan, diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan. Setiap laki-laki yang melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bersuami di luar perkawinan, tidak dipidana."

Pasal ini dianggap diskriminatif terhadap perempuan, karena hanya perempuan yang dapat dipidana atas tindakan perzinahan. Laki-laki yang melakukan perzinahan tidak dapat dipidana. Diskriminasi ini terlihat dari rumusan pasal-pasal tersebut. Pasal 411 dan 412 KUHP secara eksplisit menyatakan bahwa perempuan yang melakukan perzinahan dapat dipidana. Sedangkan Pasal 413 KUHP menyatakan bahwa laki-laki yang melakukan perzinahan tidak dipidana. Diskriminasi ini juga terlihat dari tujuan pembentukan pasal-pasal tersebut. 

Pasal-pasal ini dibentuk untuk melindungi kehormatan dan martabat perempuan. Namun, dalam praktiknya, pasal-pasal ini justru dapat digunakan untuk mengkriminalisasi perempuan dan membatasi hak-hak mereka. Oleh sebab itu harus dilakukan revisi KUHP dengan mengubah rumusan pasal-pasal tersebut sehingga tidak bersifat diskriminatif serta perlu menambahkan norma-norma baru tentang HAM yang belum diatur dalam norma-norma yang ada sehingga dapat relevan dengan perkembangan kebutuhan dan tantangan masyarakat.

Dalam menanggapi berbagai tantangan terkait penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Nusantara, dekonstruksi norma dapat digunakan sebagai strategi yang esensial untuk merinci kesenjangan antara norma yang diakui oleh kerangka hukum dan praktik yang terwujud di ranah empiris. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun