Mohon tunggu...
Ani susilowati
Ani susilowati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mahasiswi mercubuana Pascasarjana NIM 55520110034

Digunakan untuk upload tugas

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB 1- Prof Dr. Apollo "Aktivitas Digital Sebabkan Hilangnya Potensi Pajak Global ?"

2 Oktober 2021   14:11 Diperbarui: 2 Oktober 2021   16:46 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: IMF (Dabla-Norris, et al., 2021)

Apa itu BEPS?

Base erosion and profit shifting (BEPS) mengacu pada strategi perencanaan pajak yang digunakan oleh perusahaan multinasional untuk mengeksploitasi kesenjangan dan perbedaan antara aturan pajak dari beberapa negara yang berbeda secara internasional (Australia Taxation Office, 2019). 

Perusahaan multinasional melakukan hal tersebut untuk mengalihkan keuntungan perusahaan ke negara dengan yurisdiksi pajak rendah atau bahkan negara yang tidak mengenakan pajak karena aktivitas ekonominya yang rendah atau bahkan tidak ada sama sekali.

Penerapan BEPS oleh perusahaan multinasional mengakibatkan tidak dibayarkannya pajak di negara tempat kegiatan ekonomi perusahaan tersebut terjadi. 

Hal ini kemudian mengikis basis pendapatan negara karena penerimaan pajak berkurang serta mengganggu keadilan dan integritas sistem pajak negara tersebut. 

Mekanisme penghindaran pajak ini, beberapa ada yang dianggap ilegal, namun sebagian besar dianggap legal. Bisnis yang beroperasi lintas batas menggunakan BEPS untuk mendapatkan keuntungan dan menggunakannya sebagai keunggulan kompetitif dibandingkan bisnis lain yang beroperasi di tingkat domestik. Ini kemudian akan melemahkan perusahaan domestik dan menjadikannya sulit berkompetisi dengan perusahaan multinasional. 

Dampak lainnya hal ini dapat menurunkan kepatuhan Wajib Pajak lainnya. Ketika Wajib Pajak lain melihat perusahaan multinasional secara hukum menghindari pajak penghasilan, maka hal tersebut dapat menurunkan kepatuhan sukarela mereka untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.

Akibat dari BEPS akan memberikan pengaruh yang besar pada negara yang tidak menerima penghasilan kena pajak terutama negara yang bergantung pada kegiatan ekonomi. 

Penghasilan kena pajak adalah perbedaan antara pendapatan dan pengeluaran, dimana perusahaan multinasional kemudian dapat menangani hal ini sehingga operasi pembiayaan perusahaan kemudian dapat merancang untuk menempatkan pengeluaran di mana mereka menghasilkan manfaat pajak terbesar (Hines Jr, 2014).

Secara umum, perusahaan biasanya dibiayai dengan hutang atau ekuitas, hutang menawarkan keuntungan bahwa pembayaran bunga umumnya dapat dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena pajak. 

Karena manfaat pengurangan bunga meningkat dengan tarif pajak, maka perusahaan di lokasi dengan pajak yang lebih tinggi diharapkan untuk menggunakan jumlah utang yang lebih besar daripada perusahaan di lokasi dengan pajak yang lebih rendah, terlepas dari apakah mereka telah membayar hutang di satu lokasi. 

Selain itu, kemampuan perusahaan multinasional untuk memilih lokasi pinjaman memberikan ruang lingkup yang lebih besar untuk mengatur pembiayaan guna melakukan pemotongan bunga di tempat yang paling memberikan keuntungan.

Ekonomi Era Digital dan Penghindaran Pajak

Penghindaran Pajak
Penghindaran Pajak

Digitalisasi telah memungkinkan kita melakukan transfer uang, membeli barang dan layanan secara online, dan berinteraksi dengan orang-orang di seluruh dunia. 

Hal ini juga memudahkan transaksi melalui fintech, e-commerce, dan layanan online lainnya. Ekonomi digital seperti yang dapat diperhatikan, telah membawa dampak besar pada struktur ekonomi tradisional dan kemudian mempengaruhi aturan perpajakan. Ekonomi digital kemudian menjadi sumber utama pemasalahan pengikisan basis pajak dan transfer keuntungan (BEPS).

Dalam hal ini perusahaan menggunakan koneksi Internet produk dan layanan digital untuk melakukan transaksi. Lalu, karena situs Internet dan server itu sendiri tidak dapat dikatakan sebagai titik persimpangan fisik dalam transaksi yang dilakukan maka hal ini mau tidak mau akan menyebabkan negara pajak pendapatan bersih kehilangan pendapatan pajak. Sementara itu, karena transaksi digital dilakukan secara virtual otoritas pajak nasional sulit untuk mengidentifikasi identitas sebenarnya dari status dan badan pajak transaksi yang terjadi. Sehingga menyebabkan sulit untuk menentukan Wajib Pajak, kewajiban pajaknya, dan perlakuan pajak yang tepat untuk diterapkan kepadanya. Perusahaan multinasional dengan mudah menggunakan fitur ini di negara dan wilayah pajak rendah melalui struktur perusahaan untuk mencapai transfer keuntungan, melalui cara yang tidak melanggar hukum pajak internasional. Hal ini salah satu penyebabnya adalah undang-undang perpajakan di berbagai negara yang belum sinkron dengan globalisasi ekonomi dan jumlah transaksi, sehingga terjadi fenomena penghindaran pajak yang banyak dilakukan oleh perusahaan multinasional (Peng, 2016).

Digital Economy
Digital Economy
Pola BEPS dalam Ekonomi Digital

Berdasarkan pada hukum pajak internasional tradisional, untuk menilai apakah perusahaan non-residen internasional memiliki kewajiban untuk membayar pajak maka harus dilihat dari keberadaan bentuk usaha tetap di pasar suatu negara. Sehingga ketika bukan penduduk mendirikan bentuk usaha tetap di suatu negara maka ia mempunyai kewajiban untuk membayar pajak. 

Namun kemudian karena sifat virtual ekonomi digital, aturan pajak tradisional tidak dapat secara efektif membedakan bentuk usaha tetap yang dimaksud. 

Hal ini kemudian menyebabkan adanya pengikisan basis pajak, baik pada pajak penghasilan maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Menurut Peng (2016) pengiksisan basis Pajak Penghasilan dapat terjadi dengan tiga cara, pertama dengan mengurangi fungsi pasar, risiko dan aset. Dalam keadaan normal, perusahaan multinasional akan mendirikan entitas di negara pasar utama operasi mereka dan dalam era ekonomi digital, perusahaan di pasar dapat mendirikan bentuk usaha tetap dan melalui rancangan aset tak berwujud bisa mendapatkan keuntungan kena pajak. 

Aset tak berwujud ini sering dinilai rendah dan mengklaim bahwa aset tersebut dimiliki oleh anak perusahaannya. Oleh karena itu, anak perusahaan kemudian berhak untuk mengalokasikan sebagian besar keuntungan dari grup multinasional. Sehingga terjadi penghindaran dengan mengurangi keuntungan dari negara dengan yurisdiksi pajak yang tinggi.

Kedua, pengikisan basis pajak dapat dilakukan dengan menghilangkan atau mengurangi penerimaan pajak daerah induk perusahaan. 

Dalam perdagangan internasional, perusahaan yang mengoperasikan produk dan layanan digital untuk menghindari pajak negara perusahaan induk sama dengan menghindari pajak negara pasar. 

Menghilangkan atau mengurangi beban pajak di negara dimana perusahaan induk dilakukan untuk menghindari aturan CFC (CFC rule). 

Aturan CFC akan mengatur penduduk asing yang menguasai perusahaan asing yang termasuk dalam ruang lingkup anti-avoidance tax atau tidak ada pajak di tax havens yang sangat rendah. 

Dalam ekonomi digital, perusahaan multinasional dapat mendirikan CFC di area pajak yang rendah untuk memperoleh pendapatan yang dapat mengurangi pajak atau bahkan sama sekali menghilangkan kewajiban membayar pajak.

Ketiga, dengan menghindari penyalahgunaan pemotongan pajak. Jika perusahaan ekonomi digital menerima pendapatan tertentu dari negara bukan penduduk (asal) yang dibayarkan oleh perusahaan, termasuk dividen, bunga, royalti, biaya, perusahaan, menurut ketentuan undang-undang perpajakan, mungkin perlu membayar pemotongan pajak dalam negara bukan tempat tinggal (sumber). Perusahaan sesuai dengan undang-undang perpajakan internasional dapat mewajibkan negara-negara untuk ketentuan pembayaran di muka (sumber) non-penduduk untuk pajak penghasilan.

Jika pembayaran antara negara pembayar dan penerima memiliki perjanjian pajak, maka perusahaan ekonomi digital dapat memperoleh tarif preferensial atau tarif pemotongan pajak nol yang dibayarkan ke negara sumber. Untuk mencapai tujuan penghindaran pajak pada ekonomi digital, perusahaan kemudian mendirikan perusahaan cangkang di negara berkembang, yang tidak memiliki ketentuan yang cukup untuk mencegah penyalahgunaan konsesi pajak dan dengan demikian muncul masalah BEPS.

Sedangkan berkaitan dengan PPN, maka perusahaan perdagangan Ekonomi Digital dilakukan secara virtual sehingga sulit untuk membedakan identitas sebenarnya dari otoritas pajak yang menyebabkan sulitnya menentukan ruang lingkup pemungutan pajak pertambahan nilai dan cara pemungutan pajak. 

Dengan adanya ekonomi digital, perusahaan bebas pajak (seperti industri jasa keuangan) akan membeli produk konten digital untuk perusahaan non-residen yang tidak memungut pajak pertambahan nilai atau negara dengan tarif pajak rendah. Dalam keadaan normal, bank internasional multinasional membeli layanan digital dari pemasok non-residen, sehingga pengenaan pajak akan berbasis pada ketentuan di negara tersebut. 

Namun ketika negara pemasok tidak mengenakan PPN atau tarif pajak pertambahan nilai lebih rendah dari bank nasional di mana perusahaan berada bank internasional tidak akan dikenakan PPN, atau PPN hanya dibayar dengan rendah. Ini menghasilkan masalah pengikisan basis pajak.

Menghadapi BEPS di era digital

Dengan adanya digitalisasi dan kemunculan ekonomi digital maka kemudian terdapat perubahan besar dalam skenario pajak global. Metode pengelolaan pajak yang inovatif kemudian tidak hanya dicari oleh fiskus tetapi juga oleh wajib pajak. 

Otoritas pajak telah menyadari bahwa undang-undang perpajakan yang ada sekarang ini tidak lagi sesuai dengan perubahan situasi bisnis abad ke-21 yang bergerak dan didorong oleh teknologi canggih. 

Sebagai akibatnya, otoritas pajak juga dengan cepat mengadopsi strategi perpajakan baru untuk mengamankan pajak yang terutang dan menerapkan berbagai persyaratan pelaporan di bawah inisiatif seperti rencana aksi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS)  (Rosario & Chavali, 2020).

Respon regional Asia terhadap BEPS di era digital ini adalah dengan memperkenalkan pajak layanan digital (digital service tax) yang merupakan pemotongan pajak atas pembayaran untuk layanan digital lintas batas atau pajak omset berbasis pengguna untuk aktivitas digital. 

Sejak Agustus 2021, Amerika Serikat dan sebagian besar ekonomi utama Asia termasuk di antara 134 anggota Kerangka Inklusif yang dipimpin oleh Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi (OECD-IF), yang setuju untuk mengalokasikan hak pajak atas keuntungan ke negara-negara di mana konsumen dan pengguna berada, yang mencerminkan adanya kehadiran digital. 

Berdasarkan pada kesepakatan global tersebut, sebagian keuntungan dari perusahaan multinasional dengan penjualan global di atas EUR20 miliar akan dialokasikan di seluruh negara secara proporsional dengan penjualan lokal dan dikenakan pajak berdasarkan undang-undang setempat

Upaya tersebut kemudian akan memberikan dampak yang cukup besar kepada pusat investasi seperti Singapura dan Hong Kong SAR, yang dapat mengalami kehilangan hingga 0,15 persen dari PDB dalam pendapatan pajak perusahaan karena keuntungan perusahaan multinasional di kedua negara tersebut melebihi jumlah keuntungan lokal dari total penjualan. 

Lebih dari itu ketika negara-negara berpenghasilan tinggi dengan pasar domestik yang besar, seperti Australia, Cina, Jepang, dan Korea, akan memperoleh peningkatan penerimaan pajak, sedangkan negara-negara berkembang seperti Vietnam mungkin akan kehilangan pendapatan. Dampak skema perpajakan tersebut ke beberapa negara dapat diperhatikan pada gambar dibawah ini.

Sumber: IMF (Dabla-Norris, et al., 2021)
Sumber: IMF (Dabla-Norris, et al., 2021)

Sehingga meskipun pajak layanan digital lebih mudah untuk diterapkan, hal ini  tidak meningkatkan secara signifikan dan memiliki kelemahan. Pajak layanan digital yang serupa dengan Equalization Levy India hanya akan menghasilkan peningkatan sebanyak 02 persen dari PDB pada 2019 untuk Bangladesh, Indonesia, Filipina, dan Vietnam. Pajak layanan digital juga dapat mendistorsi keputusan bisnis dan masih rentan terhadap penghindaran pajak.

Selain itu, hal ini dapat memperumit hubungan dagang, karena biasanya hanya diterapkan pada perusahaan besar yang berkantor pusat di luar negeri. Oleh karena itu, pertanyaan yang masih belum terjawab adalah bagaimana cara yang paling tepat untuk menjamin bahwa aktivitas digital tidak akan mereduksi potensi pembayaran pajak secara global?

Daftar Pustaka 

Australia Taxation Office, 2019. Base erosion and profit shifting. [Online]
Available at: https://www.ato.gov.au/business/international-tax-for-business/in-detail/base-erosion-and-profit-shifting/
[Accessed 30 Sep 2021].

Dabla-Norris, E., Mooij, R. D., Hodge, A. & Prihardini, D., 2021. How to Tax in Asia's Digital Age. [Online]
Available at: https://blogs.imf.org/2021/09/14/how-to-tax-in-asias-digital-age/
[Accessed 30 Sep 2021].

Hines Jr, J., 2014. How serious is the problem of base erosion and profit shifting?. canadian tax journal / revue fiscale canadienne , 62(2), pp. 443 - 53.

Peng, W., 2016. Multinational tax base erosion problem of the digital economy. Modern Economy, 7(03), pp. 345-352.

Rosario, S. & Chavali, L., 2020. Digitization of taxation in the changing business environment & base erosion & profit shifting (Beps) special reference to India. Eur. Sci. J, 16(1), pp. 61-74.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun