Â
Kalau ada penghargaan Nobel literasi di dunia ini maka saya akan ajukan 2 nama, Widz Stoops dan Rudy Gunawan. Dua sosok yang peranannya begitu besar dalam menyatukan beragam ide penulis lintas suku suku, lintas agama, antar etnis di Indonesia menjadi sebuah novel menawan berjudul Kapak Algojo dan Perawan Vestal.Â
Judul yang jauh dari lokal wisdom Indonesia akan tetapi tokoh sentralnya berasal dari Makassar dengan setting beberapa di Eropa dan ending Jakarta. Dari lokal, meng-Indonesia lalu mendunia. Novel dengan tokoh Segara, nama khas Indonesia.Â
Bercerita tentang dendam Daeng Marradia atau Craen Mark pada keluarga Segara.  Penyebab dendam adalah  Karmila Daeng Macora gadis pujaan sekaligus yang 'digadang-gadang' menjadi perawan Vestal oleh Daeng Marradia, diambil oleh Bayu Daeng Saloko dan dijadikan istrinya. Karmila dan Bayu Saloko adalah orang tua dari Segara. Usia 4 tahun harus melihat kematian bapaknya yang dibunuh dengan sebuah kapak algojo. Tidak hanya itu, ibu dari anak ini diculik oleh si pembunuh. Segara dibiarkan hidup untuk membalas dendam, mencari sang pembunuh ayah dan penculik ibunya.Â
Dalam perjalanan mencari pembunuh inilah kisah Segara bergulir sangat menarik, ramuan kesedihan dengan cinta dan dendam akhirnya bisa mempertemukan dia dengan ibu dan adiknya.
Perawan Vestal, pembunuh, Segara dan  keluarganya menjadi jalinan cerita yang kemudian memunculkan adegan-adegan action juga romantis. Setting tempat dari Berlin, Paris, Jakarta, Purwosari, Singosari dan Jeneponto membuat novel hidup.Â
Dengan sentuhan sejarah di sana sini juga  adat dan budaya Makassar yang begitu kental membuat novel ini seperti cara lain mengenalkan budaya Indonesia pada dunia.
Saya bangga menjadi bagian dari penulis novel ini. Entah bagaimana menjelaskan, tetiba saya tertarik mempelajari Jeneponto, Makasar juga tempat -tempat lain. Bukan hanya untuk kepentingan menghidupkan cerita seperti kata Wuri Handoko dan Deni De Kaizer juga Pak Hensa  yang menyebut google map mempunyai peranan besar sebagai referensi latar, lebih dari itu saya belajar aneka ragam budaya, Indonesia dan belahan dunia lain, Jerman juga Eropa. Jadi tahu dan tentu saja ingin berkunjung ke tempat tempat yang disebut dalam novel.
Novel ini, akhirnya berbuah manis, bukan hanya bisa terbit sesudah 3 tahun penantian di tangan editor Khrisna Pabhicara, akan tetapi juga mampu memecahkan Rekor Muri. Buah dari kolaborasi ide dan eksekusi Kompasianer Widz Stoops yang bermukim di Florida US dan Rudy Gunawan, Kompasianer numerolog pertama di Indonesia yang bisa mewujudkan novel ini layak masuk MURI.
"Ketika ada yang bilang, wah ini novel baru pertama kalinya lo di Indonesia bahkan di dunia. Satu judul ditulis rame- rame oleh banyak orang. Penulis dengan berbagai latar belakang profesi. Maka pikir saya, iya juga ya. Mungkin pertama kali di dunia, maka saya pikir layak juga masuk rekor MURI," urai Rudy Gunawan asal Makasar  akrab dipanggil Acek Rudy Penulis novel  Berdansa dengan Kematian terbitan Gramedia.
 Satu hal yang juga sepakati oleh perempuan pemilik ide Widz Stoops. Dialah yang memiliki ide membuat novel keroyokan, terinspirasi event challenge Kompasianer cantik kawakan berjuluk Ken Dedes Lilik Fatima Azzahra.Â