Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjawab Curiga Salah Sasaran Bantuan Sebab Beda Keyakinan

19 Oktober 2022   07:06 Diperbarui: 19 Oktober 2022   07:43 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malang Selatan banjir, tanah longsor juga menimpa warga yang tak bersiap apa-apa meski sering hal demikian terjadi. Kepanikan tergambar jelas di raut-raut muka mereka, saya saksikan lewat foto dan video yang dikirim kawan-kawan guru di sana.

Rumah-rumah tergenang, jembatan ambrol, jalan raya berubah menjadi sungai. Jerit tangis anak-anak di gendongan ibunya, teriakan panik siswa karena terjebak di sekolah membuat saya mengelus dada.

"Gusti, musibah itu bisa saja menimpa saya, pasti bingung, sedih seperti mereka."

Sebuah pikiran yang enggan menghilang. Saya membayangkan diri ini jika jadi mereka. Sehingga tumpah kesedihan, membuncah memenuhi rongga dada, menggerimiskan butir air mata.

Apa yang bisa saya lakukan?
Apa kebutuhan utama mereka?

Saya bukan orang berada jika harus memberi bantuan finansial, kalaupun punya hanya sepersekian dibanding yang mereka perlukan. Saya pun tidak punya jabatan apa apa yang memungkinkan melakukan penggalangan dana. Saya hanya perempuan biasa dengan rasa keibuan yang turut merasakan kesedihan jika ada anggota keluarga mendapat musibah.

Hanya ingin melakukan sesuatu, itu saja. Tanpa berpikir siapa yang menerima atau bagaimana latar belakangnya. Terpenting bisa sedikit meringankan. Sehingga ketika seseorang mendorong saya membuka bantuan, open donasi pribadi untuk diberikan pada kawan, saya anggukkan.

Kawan saya di Bajulmati Malang selatan, mempunyai padepokan yang saya anggap pelestari budaya jawa. Dia mengelolanya untuk siapa saja yang ingin belajar. Tanpa memedulikan keyakinan atau etnis dan suku. Sering menjadi rujukan mahasiswa luar negeri malah untuk belajar toleransi yang dikembangkan kawan saya di padepokannya itu. Potret harmoni keberagaman yang layak menjadi teladan. Itu pikiran saya ketika pernah berkunjung ke tempatnya bertahun lalu.

Di kawasannya berdiri berdampingan rumah ibadah umat Kristiani juga Hindu disamping musholla. Diantara tetangganya juga menganut berbagai keyakinan. Dalam balutan budaya jawa yang kental. Kawan saya hidup diantara mereka, beranak pinak di sana. Saya menyaksikan, keluarga ini mendidik anak-anaknya mencintai sesama disamping mengutamakan kualitas intelektual.

Kawan saya, Mas Mahbub, adalah tokoh pelestari budaya Jawa. Bincang dengannya butuh lebih dari 24 jam untuk mendapatkan pengetahuan ke Jawaan. Ilmu yang telah hampir punah, filsafat jawa dia kuasai, begitu pula adat istiadat yang melekat.

Untuk mendapatkan ilmu itu saya pernah menginap di tempatnya. Berdiskusi, diantar pula ke tempat-tempat yang saya anggap bisa mendapat informasi kaitan dengan yang ingin saya pelajari.

Istrinya, "cancut" pula. Dia tokoh pendidikan di tempat itu. Sebuah PAUD bertengger manis di puncak bukit karang, dengan pemandangan laut lepas. Menjadi tempatnya berjuang mencerdaskan anak-anak bangsa.

Maka ketika mengetahui kawasannya terendam banjir hingga seleher orang dewasa tergeraklah tangan ini. Save Bajulmati, selamatkan asset dan orang-orang toleran itu agar tak mati harmoni.

Pengumpulan dana mulai sudah, saya bersemangat, ada yang ringan menyumbang. Bersyukur tiada tara, masih dipercaya. Akan segera menyampaikan, insya Allah Kamis besok.

Akan tetapi, belum selesai urusan pengumpulan, ada yang memberi peringatan.

"Awas memberi bantuan kemanusiaan ke Malang Selatan, itu bukan wilayah kita. Hati-hati bantuan tidak tepat sasaran."

Telisik menelisik, saya mengerti yang dimaksud peringatan itu. Malang selatan, beberapa daerah dihuni mayoritas umat Kristiani. Menjadikan orang-orang seperti yang memberi peringatan itu keberatan langkahnya, terbelenggu tangannya mengulurkan bantuan sebab beda keyakinan.

Menangis ini dalam keheningan. Mengapa tidak boleh membantu yang beda keyakinan? Padahal tidak ada larangan dari utusan terkasih pencipta alam  berbuat demikian. Kalau perang terbuka kita angkat senjata, berhadapan lawan, saling bunuhpun tak apa. Dengan segala adab peperangan yang diajarkan Rasulullah SAW. Misal tak boleh membunuh yang sudah menyerah, atau menyiksa yang telah kalah.

Sebagai teladan saya tidak pernah membaca kisahnya melarang mengasihi sesama, malah ada kisah dia berbaik kepada pendeta Nasrani juga kepada kaum Yahudi.
Bahkan dalam satu hadis riwayat Imam Bukhari disebutkan Rasulullah pernah berdiri untuk menghormati jenazah seorang yahudi yang sedang dibawa untuk dimakamkan. Para sahabat sempat mempertanyakan sikap tersebut.

"Bukankah ia juga manusia?" jawab Nabi Muhammad SAW.

Demikianlah, saya tergerak karena kemanusiaan saya, tak ada aturan agama secuilpun saya langgar sebab memberi bantuan kemanusiaan  kepada pemilik keyakinan lain.

Memanusiakan manusia, karena kita hidup diantara manusia. Apakah memperoleh balasan baik dari manusia? Wallahu alam, itu urusan Tuhan. Saya hanya memfungsikan rasa kemanusiaan saya.

Anis Hidayatie untuk Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun