Jangankan gedung, gubukpun aku tak punya
Jangankan permata, uangpun aku tiada
Aku merasa orang termiskin di dunia
Yang penuh derita bermandikan air mata
Tetiba bait lagu dangdut mellow milik Hamdan ATT jaman dulu terngiang lagi di telinga. Mengiringi malam yang ingin saya habiskan sempurna di paraduan.
Tak bisa, bayangan Abdul Rohim meloncat-loncat terus di kepala. Korban rumah roboh yang 3 hari lalu terkena angin kencang itu masih merana. Hidupnya persis sekali dengan lirik lagu termiskin di dunia tersebut.
Jangankan
gedung, gubukpun aku tak punya. Iya, Abdul Rohim tak punya rumah sekarang.ÂMeski sebelumnya cuma berbahan gedek bambu tapi masih bisa disebut rumah, sekarang dia potret pelaku yang nyata.
Tidur  hanya beralaskan terpal bantuan diatas bale-bale bambu. Beberapa seng bekas robohan rumahnya kemarin menjadi dinding, atapnya langit dengan selembar banner bekas yang dipasang tepat di atas posisi dipan tidurnya.
Miris, hati ini teriris. Ingin segera turun langsung ke lokasi. Bukan mau menulis berita susahnya yang sempat diprotes orang besar setempat sebagai seolah mengabaikan bantuan yang diberikan tersebab 2 tulisan saya mengunggah judul yang dianggapnya berkonotasi negatif. Yakni tulisan ini dan ini.
Akan tetapi mencari celah kemungkinan apa yang bisa saya lakukan agar dia segera mendapat bantuan untuk hunian.
" Walah Habis nulis Nangis, sekarang mengenaskan. Sebentar lagi nulis berita  apa lagi Mas. Nanti tinggal atasan marahi saya, disangka ada pembiaran."
Kawan saya menunjukkan satu keberatan pemuatan tulisan yang diajukan salah satu orang penting daerah setempat.
"Tolong disampaikan, bukan maksud meminggirkan yang telah diberikan, namun hanya ingin menulis pandangan hati. Ikut empati atas tak ada hunian layak buatnya. Siapa tahu ada yang tergerak membantu mendirikan rumahnya."
Tulis saya pada kawan reporter Ojin yang terus up date kabar nasib Abdul Rohim.
Gambar-gambar yang dikirim kawan kuli tinta sebelum dini hari beranjak itu sukses membuat saya begadang. Memikirkan langkah apa yang bisa dilakukan agar dia segera menghuni sebuah tempat yang bisa disebut rumah, bukan bermaksud menisbikan bantuan yang telah diberikan.
Saya apresiasi untuk bantuan itu, akan tetapi dia butuh lebih. Hidupnya belum berubah layak, ini yang ingin saya sampaikan. Dia masih perlu uluran, barangkali ada yang berkenan turun tangan kan bagus.
Hari ini insya Allah saya akan datang langsung ke lokasi, melihat kemungkinan apa yang bisa dilakukan pada sosok Abdul Rohim agar segera lolos dari potret lagu termiskin di dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H