Kondisi saya terus membaik, anak saya juga. Yang luar biasa emak mertua. Di usia sepuh, beliaulah yang merawat kami dengan tegar dan perkasa. Semangatnya ingin melihat kami sembuh begitu tinggi. Pagi sudah disiapkan sarapan, mengantar ke kamar. Siang demikian pula, malam jelang tidur beliau menjenguk memastikan kondisi, dengan mulutnya terus mengumandangkan doa.
Tak terpancar sedikitpun enggan interaksi, tidak terlihat pula takut tertular berdekatan. Dikenakannya masker, rajin mandi, ganti baju dan cuci tangan. Baginya itu cukup.
Kini, kondisi kami dalam keadaan baik. Emak, si sulung Iqbal, juga saya. Merasa sehat pulih seperti sedia kala. Rumah telah saya bersihkan,meski sebetulnya ingin semprot disinfektan. Rencana, akan saya akan ajukan ini pada satgas covid desa, semoga dikabulkan.
Kami sudah saling bercengkerama dan interaksi. Makan bersama, nonton TV juga. Romantisme mahal yang tak pernah saya lakukan saat terkapar. Meski ketika berkumpul kami masih saling bermasker juga jaga jarak. Sedikit batuk, takut menularkan satu sama lain.
Berinteraksi dengan orang luar rumah masih takut. Khawatir ada virus masih menempel di badan ini.
Konsultasi prosedur mendapatkan Swab saya utarakan pada kawan-kawan. Mbak Nazar menyebut angka 200 ribu, Koko Rudi yang sering terbang mengatakan," antara 180 sampai 200.000."
"Sakit nggak ko?"
"Enggak geli saja di hidung."
Oke, fix saya berani. Kawan-kawan kerja di SMP Islam 1 Pujon mengatakan ada yang 150.000, 225.000. Kesimpulan saya mandiri berbiaya sekitar 150.000 sampai 300.000 untuk swab anti gen, beda lagi PCR.
Pengalaman mengikutkan Swab PCR anak saya ketika akan masuk pesantren setahun lalu menelan biaya 1 jutaan. Duh, itu mahal banget.
Kunang-kunang bermain di kepala. Berarti saya harus sediakan setidaknya Rp.600.000 supaya bisa swab anti gen.