Akan tetapi, saat lelaki itu ada yang mulai mengarahkan tembakan padaku, ingin muntah rasanya. Amarah ini membuncah, mereka beristri, apa yang ada di otaknya sehingga nekad menggodaku? Rasa diperlakukan murahan menyergap dada bila ada yang memperlakukan demikian. Blok nomor kalau dia tak berhenti menggoda jadi satu-satunya jalan memutus perbincangan.
Seperti yang baru beberapa jam ini kualami. Lewat tengah malam, saat ku onkan lagi Wifi, sesudah selesai menulis berita dan mengunggah satu part novel. Lelaki yang kukenal sebagai pejabat di sebuah daerah yang sedang kutulis profilnya untuk menjadi sebuah buku menghubungi.
Awalnya biasa, pekerjaan yang kulakukan kemarin menjadi topik hangat, sampai kemudian saat dia bertanya, apa yang sedang kulakukan malam-malam begini mengawali kekurang ajarannya.
"Apa kau sendiri?"
"Apakah kamu tidak tidur?"
"Apakah kamu tidak ingin ditemani?"
Dan, saat dia meminta aku tetap menyalakan gawai karena hasratnya akan disalurkan virtual, langsung kututup layar. Ngeri, aku tidak mau melihat barang lelaki.
Amarah ini menghampiri, memuncak sampai ke ubun-ubun. Maunya mengata-ngatai, misuh-misuh mengumpatkan sumpah serapah atas perlakuannya padaku.Â
Namun, pengetahuan akan ada catatan atas apa yang terlontar dari mulut atau jari menghalangi. Memutus pembicaraan, meminta maaf tak bisa melanjutkan perbincangan, karena konsentrasi pada deretan kata yang kuhadapi di layar monitor PC, itu yang kuketik pada bar chat sebagai alasan undur perbincangan dengan lelaki ke 5 itu.
Kurang ajar betul sikapnya. Rasa direndahkan seketika menyelimuti badan ini. Dia adalah lelaki ke 5 yang membuatku merasa dilecehkan. Apa yang mampir di otaknya sehingga memperlakukanku sehina itu?
Mungkinkah status janda yang membuat lelaki kurang ajar itu berpikir aku pantas digoda?
 Bisa jadi, sebab seorang penulis kawakan yang juga salah satu di antara 5 lelaki itu pernah mengatakan, " Hanya ada 2 hal yang bikin repot orang selama ini. Satu ekonomi dan kedua seks."
Aku tidak tahu analisa dan kesimpulannya itu mewakili siapa, tetapi itu yang tersirat di pikiranku dan kupatahkan. Secara ekonomi aku tidak mapan, bahkan sering kekurangan. Tapi bukan masalah besar, selalu ada jalan memenuhi kebutuhan, Tuhan cukup bermurah hati menunjukkan kuasanya menyelesaikan urusanku tentang hal ini. Aku, ibu mertuaku, juga 2 anakku bisa bertahan hidup hingga kini.