Terus terang pada komentar itu ada kosakata yang baru saya temukan dalam keseharian. Bahasa minang rupanya. Zam memberi tahu artinya dan menyampaikan tentang senioritas Tjiptadinata Effendi di Kompasiana. Diaspora, tinggal di Australia tapi konsisten menulis untuk Indonesia di Kompasiana.
Mata ini lalu  menekuri sosok Tjiptadinata, tidak ada arogansi senioritas di sana. Malah lebih hangat dari kaum saya, pribumi. Dia ramah, tak pandang sesiapa. Semua disapa. Begitu pula istrinya ibu Roselina.Yang saya tahu, beliau juga sangat mencintai budaya serta bahasa  tempat dia pernah muda dibesarkan, daratan Andalas.Â
Sapaan khas bahasa  sana sering digunakan pada para penulis sedaerahnya. Ini membuat saya makin menghormati sosok Tjiptadinata Effendi. Cintanya pada budaya, pada bahasa Indonesia tak diragukan lagi.
Buktinya dia gunakan ribuan kata berbahasa Indonesia dalam keseharian di negara orang. Â Baik ketika menulis maupun menjelajahi akun kompasianer untuk memberi komentar. Sebuah capaian yang saya sendiri sulit menyaingi.
Maka untuk kehadiran karya dan sapa beliau di Indonesia, lewat Kompasiana, saya haturkan hormat ini. Memupus pandangan minor beberapa orang terhadap etnis sipit yang katanya enggan berbaur dengan kami, pemilik kulit coklat.
Teruslah sehat bapak dan ibu Roselina, untuk menorehkan karya, membuktikan betapa cinta pada Indonesia bisa dibuktikan lewat karya. Aku Bangga Indonesia telah dibuktikan pasangan Tjiptadinata dan Roselina.
Potret seorang etnis yang beberapa orang memandang enggan mengakui ke Indonesiaan. Tjiptadinata Effendi dan istri telah mewujudkan itu dalam  keramahan karakter khas Indonesia. Ya, Tjiptadinata adalah "Cina" yang Indonesia.
Anis Hidayatie, untuk Kompasiana. Untuk Tjiptadinata dan Ibu Roselina.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H