Saya jadi mengerti, tidak mengapa orang menunjukkan identitas asal usul seseorang, Â seperti budaya atau agamanya, sepanjang dia bisa menghargai orang di tempat tinggal barunya.
Sayapun, mungkin ketika tinggal di kampung orang, pasti rindu kelahiran atau nenek moyang. Maka ketika Gus Dur dahulu mengizinkan barongsay dipertunjukkan, mengakui Kong Hu Chu sebagai agama, saya tidak menentang. Bukan ingin eksklusif tapi sebentuk tumpah kerinduan saja.
Bergaul dengan kelompok mereka, mendengar gunjingan atau kabar sesuatu tentang sesamanya menjadikan saya merasa setara. Sama-sama manusia, tidak lagi ada keinginan menarik diri hanya gegara kulit dan asal usul saya berbeda. Malah saya merasa hidup lebih berwarna. Adaptasi, belajar memahami, menumbuhkan toleransi.
Begitu pula dengan pandangan saya tentang Tjiptadinata Effendi dan Ibu Roselina. Kagum ini terhadap rasa mencintai bapak Tjipta dan ibu Rose pada bumi pertiwi makin tumbuh. Apalagi ketika dengan senang hati beliau berkenan menjadi bagian dari pegiat literasi Indonesia.
Sebagai bagian dari Komisi Nasional Pendidikan Jatim waktu itu, saya merasa beruntung menjadi Kompasianer. Tidak sulit mengajak diaspora penulis yang banyak bertaburan di beyond blogging ini untuk ikut menggerakkan literasi anak negeri .
Salah satu yang berkelebat di pikiran adalah nama Tjiptadinata Effendi. Saya ajukan ajak kepada beliau menjadi bagian dari berbagai program literasi yang saya tangani. Webinar dan pemecahan rekor muri diantaranya.
Langsung menyatakan kesanggupan, bahkan merasa bahagia dengan ajakan ini. "Sebuah apresiasi tak ternilai bagi saya diizinkan ikut sebagai Pegiat  Leterasi Indonesia Diaspora," tutur Bapak Tjip 16/9/2020 lalu.
Malah sebagai wujud totalitas beliau menawarkan ibu Roselina untuk bergabung juga,"Kalau berkenan mohon nama Roselina diikut sertakan sekalian."
Sesuatu yang di luar ekspektasi saya. Mengingat bisa mengajak bapak Tjipta saja saya excited apalagi ditambah Ibu Roselina.
Sampai di sini saya tertegun, dunia menulis ini begitu indahnya. Tak pandang sesiapa, literasi menyatukan gerak langkah ini. Hal yang langka saya temukan di luar dunia menulis.
Bisa jadi ajakan saya akan ditertawakan atau dicemooh bila mengingat siapa saya. Tidak kaya, tidak pula ternama. Hanya perempuan desa yang berusaha eksis lewat tulisan recehan. Jauh lebih senior kompasianer lain. Apalagi dibanding bapak Tjiptadinata Effendi. Sang life legend Kompasiana.
Sosok hebat yang kata Zamzami Tanjung, kompasianer Bukittinggi merupakan maestro  legendaris. Masih saya ingat betapa ramahnya beliau. Mengomentari karya cerpen pemula saya di Kompasiana. Balada Perempuan Pemanjat Kelapa. --Sentuh judul itu bila ingin tahu aslinya.--