Sampai detik ini, masih banyak orang yang melihat baju asal-usul seseorang dalam melakukan penilaian.
"Ancene Cino yo ngono iku medite. Memang Cina, ya seperti itu pelitnya."
" Suruh pulang saja ke Arab kalau suka berpenampilan arab di sini."
"Koyok mbababu karo londo ae, ra roh wayah. Seperti bekerja sama Belanda saja, tidak  tahu waktu. "
"Ngene iki eleng jaman Jepang, kerjo Romusha. Begini ini Ingat jaman Jepang, bekerja paksa ala Romusha."
Kalimat-kalimat di  atas merupakan contoh steoretipe yang berkembang di masyarakat atas judge terhadap etnis bangsa tertentu. Tidak dipandang sebagai manusia pada umumnya tetapi menilai karakter, polah seseorang berdasarkan ras asal.
Imbasnya, seringkali pengambilan sikap jadi tidak fair ketika berhadapan dengan mereka. Tidak menyalahkan siapa-siapa. Sayapun pernah mengalami masa menjaga jarak untuk melakukan interaksi dengan etnis di luar Indonesia.
Jangankan dengan luar etnis, dengan lain suku sesama Indonesia saja kadang tidak nyaman berkomunikasi. Masih saja saya takut dengan suku madura atau batak yang konon katanya keras.Â
Ini yang kemudian saya mengerti mengapa Sumpah Pemuda perlu terus dikumandangkan gaung gemanya. Ruh Satu sebagai Indonesia itu sedemikian pentingnya untuk menjaga persatuan bangsa ini.
Pandangan apriori terhadap ras lain itu mulai pupus ketika saya sering harus komunikasi dengan para pemilik mata sipit Cina pun yang berhidung mancung Arab. Dalam bingkai pekerjaan atau pertemanan. Ternyata mereka sama seperti kita dengan sifat kemanusiaannya. Ada yang baik ada yang buruk. Ada yang lembut ada pula yang kasar.