Rahasia
"Aku gak mau memanggilmu Mas. Kau lebih muda, kita berhubungan sebagai kakak adek saja. Aku kakakmu, kau adekku."
" Boleh, asal adek yang ini boleh mencintai kakaknya, menikahi kakaknya."
"Nggak, ada-ada saja."
"Aku tahu kakak menyimpan rasa padaku. Rasamu adalah rasaku, rasamu adalah rasaku. Kita bersatu merasakan itu. Kau jangan mengelaknya lagi."
Lalu malam-malam berikutnya adalah penyatuan rasa. Hanya kata, tidak lebih. Saling melempar kata, menggoda, terkadang berbagi gambar atau suara.
Menuntaskan dalam torehan kata, menjadi cerita pendek atau panjang. Menyempurnakan diksi agar tak terkesan vulgar ketika disajikan.
*****
Dia, lelaki itu adalah teman malamku bertahun lalu. Pernikahan menjadi opsi paling menakutkan yang dia tawarkan. Aku suka dicintai, diperhatikan. Mendapat chat pagi, siang, sore hingga beranjak ke peraduan.
Aku suka ditelpon dia, meski sekedar bertanya, "Sudah makan?"
Bergairah pula kala gigil malam diajukan godaan, "Kuselimuti ya?"
Lalu percakapan-percakapan nakal mewarnai. Tak sadar tetiba banyak hal yang dilanggar. Aturan tidak boleh berduaan dalam obrolan dengan lelaki bukan mahram kuterjang. Lelaki itu sudah beristri, sedang menderita sakit parah pula, kanker rahim stadiun akhir.
"Kakak tidak bisa melawan rasa, kita bisa menikah. Panggil aku mas, kakak akan jadi istri keduaku. Tak mengapa poligami, bila memang itu takdirnya."
Dentuman palu menggelegar di kepala. Poligami, kata mengerikan yang betul-betul kuhindari. Kesakitan perempuan yang dimadu tetiba muncul ke ruang lain rasaku.Â
Empati ini muncul. Ingin dekat dengan istrinya. Merasakan kesakitan akibat kanker yang diderita. Merawatnya, hingga maut menjemput, atau memberi semangat untuk berjuang tetap hidup. Â
Meski telat menikah dan sering menerima julukan menyakitkan sebagai perawan tua, aku tak mau bersaing dengan perempuan tak berdaya. Apalagi jadi istri kedua.Â
Andai aku jadi istri yang diperlakukan demikian tentu akan sangat terluka. Sudah menderita sakit, butuh perhatian dan kasih sayang, eh malah dijadikan alasan menduakan. Bak sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sakit banget. Aku tak mau itu.
Bayangan hukum karma menganga. Bisa saja lelaki rahasiaku juga melakukan hal sama dengan perempuan lain. Kalau pada istrinya dia tega berbuat begitu ada kemungkinan, kelak ketika aku menjadi madu, dia juga akan lakukan itu. Tidak setia, sudah jadi bajunya.Â
Sejak itu, kuhentikan segala percakapan yang mengarah pada hubungan bukan mahram. Sesak dada ini, seolah aku telah menjadi penderita kanker pula. Yang ditinggal suami mencari wanita lain demi hasrat kelelakian.
Tak mau menyakiti perempuan lain pun aku tak ingin merasakan sakit maka kutinggalkan lelaki rahasiaku. Dengan alasan panjang lebar. Meski  tak terima, tetap kutinggalkan dia.
Rupanya, lelaki rahasiaku berburu perempuan lain sesudah itu. Pada suatu kepentingan kutelpon dia.
"Hai kau sedang di mana, sama siapa?"
"Aku sedang ada pekerjaan ke luar kota, maaf kalau tidak bisa menghubungi. Ini aku sama teman kantor."
Hal yang tak terduga terjadi. Telpon itu dialihkan pada seorang wanita. Beralasan akan ke toilet.
"Dengar mbak, Mas sudah tidak mau lagi berhubungan denganmu. Jadi pergilah!"
Kututup telepon dengan perasaan terhina  luar biasa. Perempuan itu aku mengenalnya, meski hanya dari cerita. Sekarang sudah bertemu muka rupanya. Di sebuah hotel. Membayangkan yang terjadi selanjutnya membuat amarah ini meletup tak terima.
Tapi apa iya aku harus meluapkan kemarahan? Pada siapa? Lelaki itu rahasia. Kalau aku marah padanya bisa saja dia membuka cerita kami yang harus ditutupi.
Maka menutup lembaran. Itu satu-satunya jalan. Tidak ada kebaikan dariku meneruskan hubungan ini. Bahkan sebagai kenalan.
Anis Hidayatie, untuk Kompasiana.
Ngroto, 30 /09/ 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H