"Kakak tidak bisa melawan rasa, kita bisa menikah. Panggil aku mas, kakak akan jadi istri keduaku. Tak mengapa poligami, bila memang itu takdirnya."
Dentuman palu menggelegar di kepala. Poligami, kata mengerikan yang betul-betul kuhindari. Kesakitan perempuan yang dimadu tetiba muncul ke ruang lain rasaku.Â
Empati ini muncul. Ingin dekat dengan istrinya. Merasakan kesakitan akibat kanker yang diderita. Merawatnya, hingga maut menjemput, atau memberi semangat untuk berjuang tetap hidup. Â
Meski telat menikah dan sering menerima julukan menyakitkan sebagai perawan tua, aku tak mau bersaing dengan perempuan tak berdaya. Apalagi jadi istri kedua.Â
Andai aku jadi istri yang diperlakukan demikian tentu akan sangat terluka. Sudah menderita sakit, butuh perhatian dan kasih sayang, eh malah dijadikan alasan menduakan. Bak sudah jatuh tertimpa tangga pula. Sakit banget. Aku tak mau itu.
Bayangan hukum karma menganga. Bisa saja lelaki rahasiaku juga melakukan hal sama dengan perempuan lain. Kalau pada istrinya dia tega berbuat begitu ada kemungkinan, kelak ketika aku menjadi madu, dia juga akan lakukan itu. Tidak setia, sudah jadi bajunya.Â
Sejak itu, kuhentikan segala percakapan yang mengarah pada hubungan bukan mahram. Sesak dada ini, seolah aku telah menjadi penderita kanker pula. Yang ditinggal suami mencari wanita lain demi hasrat kelelakian.
Tak mau menyakiti perempuan lain pun aku tak ingin merasakan sakit maka kutinggalkan lelaki rahasiaku. Dengan alasan panjang lebar. Meski  tak terima, tetap kutinggalkan dia.
Rupanya, lelaki rahasiaku berburu perempuan lain sesudah itu. Pada suatu kepentingan kutelpon dia.
"Hai kau sedang di mana, sama siapa?"
"Aku sedang ada pekerjaan ke luar kota, maaf kalau tidak bisa menghubungi. Ini aku sama teman kantor."