Berada di zona nyaman sebagai penjual gorengan selama lebih dari 10 tahun di sebuah sekolah pesantren membuat Solehuddin,  bapak 2 anak ini kelabakan saat PSBB diberlakukan.Â
Mengiringi pandemi Covid -19 yang merebak datang. Menimbulkan korban berjatuhan.Tak hanya Indonesia bahkan di seantero dunia.
Ini menimbulkan kegaduhan di berbagai sendi kehidupan.Terutama pada  perputaran roda perekonomian. Banyak sektor tumbang, tidak ada pergerakan. Sehari dua tak mengapa. Tapi begitu lewat seminggu maka gelisah dirasakan banyak orang.
Ini berlaku pula pada bapak Sholehuddin tersebut. Terbiasa menjual dagangan di lingkungan Sidogiri Pasuruan, pesantren dan sekolah dengan jumlah santri hingga 13.000 orang membuatnya tidak merasa kesulitan mendapatkan uang.
Pagi berangkat, membawa gorengan milik istrinya, lalu menjaganya hingga siang. Pulang membawa uang hasil dagangan di tangan. Tanpa jeda, begitu kesehariannya. Kontinyu, selalu bisa mengepulkan dapur. Meski tidak berlebihan, tapi cukuplah untuk menghidupi anak dan istrinya setiap hari.
Kondisi berbalik dia alami saat pandemi covid-19. Lockdown serentak Indonesia pertama, dia ikut terimbas pula. Tak ada yang dikerjakan. Tinggal di rumah saja. Sama dengan orang lain yang terdampak adanya pandemi. Nganggur menanti kepastian kapan buka, yang ternyata hingga new normal digemakan Sidogiri masih tetap lockdown. Santri boleh masuk tapi tidak boleh ada aktifitas dengan dunia luar pesantren.
Wali Murid dilarang menjenguk, santri dan penguni tak boleh keluar sama sekali. Segala kebutuhan dilaksanakan dan dipenuhi di dalam pesantren. Demi meminimalkan kontak atau interaksi dengan luar pesantren sebagai upaya mematuhi protokol pandemi agar tak ada lagi korban covid -19.
Kebijakan pesantren itu membawa dampak besar pada banyak orang yang menggantungkan hidup dari eksistensi Sidogiri. "Korban Ekonomi Pandemi Sidogiri" berjatuhan, mereka tetiba tak punya penghasilan.
Pak Sholeh adalah salah satunya. Warga desa Slambrit yang tiap hari berjualan gorengan  di area luar pesantren ini harus rela jadi pengangguran karena pandemi yang belum juga berakhir hingga hari ini.
Bahkan Pasuruan, untuk saat ini sedang melaksanakan PSBB tahap kedua selama 14 hari. Mengingat banyaknya korban. Rumah Sakit daerah setempat sudah kesulitan menampung pasien Covid-19 yang terus berjatuhan.
Menghitung hari tanpa kepastian membuatnya berupaya mendapatkan pekerjaan lain. Apapun dia mau asal halal hingga ada seorang kawan datang, memberitahunya untuk jadi seorang pembuat tusuk sate.