Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki dengan Taji Janji Suci 2

25 September 2020   05:43 Diperbarui: 25 September 2020   05:45 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku perempuan dengan pengalaman perceraian. Suamiku dulu kudapati berselingkuh dengan sahabatku sendiri.

 Hingga aku mengajukan talak cerai karena enggan dimadu. Ajeng, anakku semata wayang dibawa suami, alasannya karena Ajeng sering kutinggal sendiri tanpa asuhan kasih sayang Mama.

Eni, karibku yang juga selingkuhannya dan berprofesi sebagai guru TK itu memang meminta Ajeng ikut dia. Rupanya, selama ini mereka telah sering jalan bersama sehingga Ajeng tak menunjukkan gelagat berat berpisah dari mamanya sendiri, yakni Aku.

Kulepaskan Ajeng dengan derai air mata, gadisku yang mulai menginjak kelas 1 SMP itu malah tersenyum, menghibur.

"Jangan sedih Ma, kita akan sering berkabar. Kalau Mama tidak sibuk kita bisa hangout bareng."

Duh anakku, dia seperti faham betul situasi ini. Bisa membuatku mengatasi kondisi saat perpisahan itu harus terjadi. Peluk cium mewarnai ritual Ajeng pergi dengan papanya. Menuju rumah Eni di kota tetangga.

 Disaksikan Mbok Tum yang tak  kuasa pula menahan diri untuk tak histeris melepas Ajeng. Wanita tua pengasuh ajeng sejak kecil itu kelihatan betul sungguh terpukul.

Aku memang tidak bisa menjadi istri yang baik menurut ukuran umum. Ke luar rumah, karir, melekat betul dengan ritme kehidupanku. Tapi aku tidak mau disalahkan untuk ini. Yang membuat Sam, mantan suamiku beralasan meduakanku. Sebelum menikah, dia sudah paham pekerjaanku, aku bukan wanita rumahan yang betah diam mengurus rumah.

Aku butuh eksistensi, pengakuan terhadap karyaku, kinerjaku. Itu menjadi fokus yang utama. Urusan rumah kupikir bisa didelegasikan. Ada mbok Tum, Asisten Rumah Tangga  yang sempurna mengurus rumah, juga merawat Ajeng.

Toh urusan ranjang aku tak pernah ingkar, selalu siap kapanpun Sam memginginkan. Jadi menurutku Sam hanya mengada-ada alasan untuk alibi perselingkuhan. Dia jatuh cinta pada Eni. Itu yang kurasakan.

Makanya, kuajukan cerai saja, dari pada hidup berbagi cinta. Aku bisa hidup tanpa dia, lebih enjoy kurasa, tak perlu melaporkan kemanapun aku akan pergi, dengan siapa, pun apa yang sedang kulakukan.

Pernikahan bukan lagi hal sakral yang kupercaya mampu mengikat kesetiaan. Dia hanya simbol boleh tidaknya laki-laki dan perempuan berhubungan. Sesuai norma agama atau susila. Yang membedakan manusia dengan hewan ya menikah itu. Dengan embel-embel panggilan. "Bu Sam" atau "Nyonya Sam".

Perkara lainnya, sama saja dengan hewan. Aku tertarik, kau mau let's continue. Tidak ada jaminan "Kau satu-satunya milikku."

Aku sudah membuktikan. Lelaki, makhluk yang bisa meletakkan cinta pada siapa saja. Janji suci hanya dipakai taji merayu sasaran. Agar mau melanjutkan hubungan. Menjadikan perempuan ikatan untuknya saja. Tidak boleh "toleh-toleh". Sementara laki-laki, meski dia telah menjadi suami masih boleh lirak lirik sana sini. Mengerikan.

Ini yang menjadi pertimbangan menolak ketika Jon mengajakku menikah. Apalagi hanya akad, dengan buku nikah saja aku masih trauma apalagi cuma komitmen tanpa legalitas apa-apa. Lemah daya tawar, aku enggan lagi dipermainkan.

Maka kusampaikan padanya penolakan, dengan alasan belum berpikir menjalani kehidupan rumah tangga lagi.

"Tidak Jon, aku belum siap untuk itu. Menikah akan membuatku punya status baru. Istri, dengan segala tetek bengek ritual yang harus kujalani. Kau tahu kehidupanku, aku tidak bisa jadi istri."

"Kau ini, kalau kita begini terus, bisa dihujat orang. Kau mau reputasimu hancur?"

"Persetan dengan reputasi, jadi istri juga tidak ada jaminan terhormat."

"Aku ingin lebih dari sekedar kencan sayang, I wanna making love with you. Kau selalu tidak mau bukan? Dengan alasan dilarang. Kalau menikah, tidak ada lagi larangan itu. Mau ya?"

Jadi cuma itu alasan Jon mau menikahiku? Tidak ada cinta meski tiap saat dia ringan ucapkan "I love you". Tapi dalam hal ini aku tidak merasakan ada cinta itu. Hanya simbol ingin mendapatkan sesuatu.

Dia hanya ingin ranjang saja sepertinya, sesuatu yang kujaga betul tidak memberikan padanya. Juga lelaki manapun sesudah perceraian dengan Sam. 

Aku janda memang tetapi tidak pula suka mengobral kewanitaan demi setitik kepuasan. Kujaga betul milikku itu, meski seringkali olokan ditujukan. "Kau ini sudah janda jangan berlagak seperti masih gadis."

Tiba-tiba jijik menyergap. Lelaki itu hanya menjadikan pernikahan sebagai senjata legalitas tidur bersama. Lalu sesudah dia dapatkan apa yang akan dilakukan tidak ada yang tahu. Bisa saja dia akan meninggalkanku berburu perempuan lain dengan modus sama. Menikah. Untuk tidur saja.

"Maaf Jon, Aku tidak bisa, aku masih trauma." Itu yang kujadikan alasan, agar dia tidak tersinggung.

Jon terdiam, menatapku tajam. Jengah ditatap kutundukkan kepala. Meja nomor 10 di warung Mbak Rini menjadi sasaran pandangan. Tanpa melihat matanya aku merasakan ada yang aneh berdesir di dada. Ada apa dengan rasa ini?

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun