Perawakannya standar, tidak pendek tidak juga tinggi. Kulitnya coklat khas timur jauh. Rambutnya lurus hitam legam, tidak ada yang istimewa pada tampilan lelaki itu.Â
Hanya ketika tertawa saja baris giginya menunjukkan sedikit pesona. Putih berjajar rapi, dengan sedikit gingsul menyembul. Lama-lama manis juga memandangnya.
Itu yang kubatin kala pertama mengenal. Di sebuah pertemuan tim marketing promotion perusahaan iklan. Dalam rangka branding produk real estate aku mengenalnya. Lelaki yang meminta hanya dipanggil Jon. Tidak mengenalkan namanya lengkap. Terlalu panjang dan sulit katanya.
Dia datang bersama klien yang datang ke perusahaan tempatku bekerja. Sebagai pendamping bos untuk merancang narasi aku selalu ikut kemanapun bosku pergi. Termasuk mendampingi klien. Kapanpun jam berapapun aku dipanggil harus hadir.
Pertemuan pertama tidak ada yang mengesankan darinya selain hanya namanya. Selanjutnya jadi lebih dekat karena dia rajin chat.
 "Kamu sudah makan?"
Itu kalimat pertanyaan yang selalu dia ucapkan sebelum obrolan panjang dimulai.
Seperti sebentuk perhatian. Apalagi ketika dia melanjutkan,"Kalau belum aku jemput ya. Kita makan berdua di luar."
Sejurus kemudian Brio abu-abu datang. Mengantar kami menuju tempat yang dia pilih, atau kadang aku yang menawarkan.
Bukan resto atau kafe tempat yang sering kami singgahi. Warteg, atau orang jualan nasi goreng di pinggir jalan itulah yang menjadi sasaran.
"Aromanya membuatku sangat berselera." Itu yang diucap Jon menjelaskan alasan memilih tempat makan itu.
Hanya makan bersama awalnya, kemudian berbincang dengan gelak canda. Hingga kedekatan ini menjadikan nyaman hubungan. Hampir tiap hari, siang atau malam kuhabiskan waktu mengisi perut dengannya.
Menguntungkan dari sisi pekerjaan. Konsep script dan narasi lebih cepat kuselesaikan. Dengan konten yang membuat Jon terkesima.
"Imajinasimu sungguh luar biasa." Pujinya ketika kusodorkan rancangan kalimat padanya.
Tak hanya hasil kerja yang kuselesaikan lebih cepat, kedekatan kami ternyata secepat kilat pula membuatnya bisa memanggilku sayang, honey, hingga Mama. Entahlah, aku tidak marah seperti biasa kulakukan pada lelaki lain yang berani memanggilku serupa itu.
"Ma, jangan bikin sarapan ya, kujemput. Kita akan sarapan di warung pagi Mbak Rini. Aku ingin kau menyuapiku nasi pecel buatannya."
Ini yang sulit membuatku lepas dari jerat dekat dengannya. To the point, tanpa basa basi. Termasuk urusan melanjutkan hubungan ke jenjang lebih serius.
"Ma, aku nyaman denganmu Kita akad dulu saja ya."
Mestinya, ditembak begitu aku bahagia. Tapi tidak demikian denganku, menjadi kekasih tak mengapa. Tapi menikah? Dengan lelaki yang tak kutahu track recordnya?
Ini menumbuhkan galau berkepanjangan. Bertumpuk resiko merupa file folder di kepala. Apa yang harus kulakukan?
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H