Siapa Sangka tulisan saya di kompasiana tentang perjuangan menurunkan UKT sekira 6 bulan lalu menuai hasil di luar ekspektasi. Mulanya hanya ingin curhat saja, sekaligus berbagi pengalaman barangkali ada orang tua yang bernasib sama dengan saya. Kesulitan membayar UKT, Uang Kuliah Tunggal.
Jangan jadi guru jadilah pekerja bangunan. Artikel itu mengupas  awal pengurusan hingga segala berkas yang harus dipersiapkan. Berupaya keras memenuhi. Sesuai prosedur.Â
Mengambil blanko di bagian umum rektorat. Mengisi seluruh syaratanya, meminta tanda tangan mulai Kajur hingga dekan.
Semua saya hadapi, sendiri. Demi buah hati, agar tetap melanjutkan studi. Meski dana minim sekali. Hingga sesak memenuhi dada ketika salah satu petinggi memberi solusi agar anak saya kuliah nyambi bekerja. Bukan sarannya yang saya tangisi tapi pilihan pekerjaan yang dia tawarkan itu yang membuat gerimis menderas di pipi.
Menjadi kuli Bangunan. Satu hal yang jauh dari pikiran. Membayangkan saja tidak berani. Anak saya baru menjalani operasi tulang belakang, masa iya harus mengangkat material di punggungnya. Bisa celaka dia.
Yang dia lakukan kini adalah menjadi tenaga IT di salah satu boarding school kota Malang. Tidak seberapa gajinya, tapi dia punya tempat tinggal dan bisa makan di sana. Menghemat biaya hidup yang biasanya untuk itu lumayan mahal.
Hal itu rupanya tidak cukup berharga di mata petinggi salah satu kampus negri di Malang itu. Gajinya kurang besar. Lalu ketika dia mengetahui pekerjaan saya yang hanya guru swasta dengan gaji tidak seberapa, dia ungkapkan lagi pikirannya. Untuk anak saya, Kalau mau bisa membiayai kuliah sambil bekerja. Jangan jadi guru, jadilah pekerja bangunan.
Kisah pilu yang membuat saya berderai derai air mata itu saya tulis di beyond blogging Kompasiana ini. Share medsos dan pasang status Whats App. Rupanya bukan hanya Kompasianer yang memberi komentar, beberapa menjadikan tulisan saya sebagai bahan diskusi. Hingga seseorang, kakak kelas saya menghubungi.
"Adek masih mau UKT turun kah?"
"Iya, tentu saja."
" Kalau begitu kuhubungkan wakil rektor 3 ya?"
"Nggih mas, dospundi saenipun."
Saya chat Warek 3 itu. Ada pemakluman atas kondisi anak saya.
"Kalau orang  tua meniggal bisa bu. Anaknya supaya mengajukan tertulis. Ketemu saya saja."
Maka, bertemulah anak saya dan wakil rektor 3 itu. Terjadi kesepakatan, biaya kuliah akan diturunkan.
Hari berganti, hingga deadline pembayaran tidak ada kabar. Saya hubungi sang Warek 3, dikatakan sudah diproses. Tetap munculnya tagihan membuat anak saya gusar. Dia putus asa, tidak mau lagi menanyakan. Pilihan hanya dua, terminal atau membayar. Itu dia ajukan pada saya.
Hanya menangis, sembari berdoa pada Allah, semoga ada keajaiban. Hingga satu panggilan gawai mengusik sunyi. Saya angkat, dari seorang sahabat lama yang kini jadi orang besar di salah satu Perguruan Tinggi Negeri Surabaya.
"Piye, UKT ne anakmu opo wes beres?"
"Urung e ."
"Piro?"
"Meh 2 juta."
" Kapan terakhir?
"Sek ya tak takok anakku."
Segera saya hubungi buah hati, bertanya kapan dead line akhir pembayaran.Â
Dia jawab," Hari ini Umi."
Seketika pecah tangisan, makin deras air mata, bayangan dia harus berhenti kuliah di pelupuk mata. Saya kabarkan ini pada teman saya.
"Hari ini, Ya Allah. Sedang aku tak ada uang sama sekali."
"Wes jo nangis, tak transfer saiki. Ndang bayarno."
Gelegar bebunyian merupa nada shalawat badar memukuli kepala dan rasa. Haru bahagia bergumul dalam ketidak percayaan. Doa -doa paling tulus terpanjatkan, untuk kebaikan kawan yang dikirim Tuhan menyelesaikan masalah saya. Tuntas urusan. Anak saya bisa melanjutkan kuliahnya lagi. Semester 6 kala itu.
Tidak berhenti di situ, rupanya sahabat saya berinisiatif membuat sebuah yayasan untuk membantu biaya anak-anak alumni almamater yang kekurangan. Lewat program Educasi diberikan bantuan biaya itu tiap bulan, sebesar Rp.500.000. Menurutnya, anak saya adalah pilot project. Barokalloh, bantuan finansial itu rutin terkirim. Betul - betul meringankan saya dalam membiayai kuliah anak.
Hampir lewat 6 bulan peristiwa itu berlalu, saatnya membayar UKT lagi. Terjadi debat sengit antara saya dan anak. Antara mengurus penurunan lagi dan membayar seperti biasanya, tentu dengan alternatif pinjam atau mencari-cari cara.
Qodarullah, niat silaturahmi bertemu sahabat penulis yang juga kompasianer dan dosen di kampus itu, juga suaminya lawyer terkenal di kota Malang memberi sinyal ada jalan kemudahan. Dia tanya hasil pengurusan UKT semester lalu. Jawaban apa adanya saya berikan.
Terperanjat, karena tak ada hasil dia telpon sendiri rektor. Lalu dia minta saya mengurusnya lagi dengan menghubungi bagian sekretariat. Saya lakukan via chat saja. Mengikuti alur yang sudah diberitahukan. Tidak perlu datang ke kampus karena semua proses pekerjaan WFH, work from home. Makin memudahkan saya melakukan pengurusan.
Syukur pada Tuhan, pemecah segala urusan. Jalan buntu terbuka sudah. Bagian keuangan mengisyaratkan uang UKT anak saya sebetulnya sudah diproses turun sejak semester lalu. Ternyata 2 syarat yang membolehkan turun terpenuhi. Sehingga dok untuk penurunan UKT turun tanpa kendala.
Pertama, jalur prestasi. IPK selalu Cum Laude, tak pernah turun. Lewat jalur ini memang indeks prestasi komulatif harus terus naik. Tak boleh turun. Sekali turun tidak bisa mendapatkan lagi biaya prestasi.
Kedua, jalur sosial. Ternyata ada kebijakan untuk mereka yang tak punya ayah. Yang tetiba meninggal ketika sedang menempuh kuliah. Yang dinilai kurang mampu membayar biaya UKT. Inilah syarat yang otomatis terpenuhi itu. Tak ada sanggahan untuk alasan tersebut.
Kini anak saya menatap semester 7 dengan senyum tenang. Tak lagi sangat resah memikir biaya kuliah yang tentu saja makin membengkak seiring persiapan masa  kelulusan. Menyelesaikan skripsi pun tugas praktik lain. Meski untuk itu telah melewati banyak perjalanan. Salah satunya itu tadi. Berjuang lewat tulisan.  Walau awalnya tak ada niat demikian.
Karena tulisan, banyak hati digerakkan Tuhan mengulurkan bantuan. Karena tulisan, ada inspirasi berbuat sesuatu bagi yang kekurangan. Inilah takdir Tuhan. Menambah keyakinan, menulis terus, nir pamrih apa-apa. Karena Tuhanlah yang akan menentukan takdir tulisan kita akan kemana. Asal disertai niat, atas nama Tuhan, seru sekalian alam. Bismillah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H