Maka, bertemulah anak saya dan wakil rektor 3 itu. Terjadi kesepakatan, biaya kuliah akan diturunkan.
Hari berganti, hingga deadline pembayaran tidak ada kabar. Saya hubungi sang Warek 3, dikatakan sudah diproses. Tetap munculnya tagihan membuat anak saya gusar. Dia putus asa, tidak mau lagi menanyakan. Pilihan hanya dua, terminal atau membayar. Itu dia ajukan pada saya.
Hanya menangis, sembari berdoa pada Allah, semoga ada keajaiban. Hingga satu panggilan gawai mengusik sunyi. Saya angkat, dari seorang sahabat lama yang kini jadi orang besar di salah satu Perguruan Tinggi Negeri Surabaya.
"Piye, UKT ne anakmu opo wes beres?"
"Urung e ."
"Piro?"
"Meh 2 juta."
" Kapan terakhir?
"Sek ya tak takok anakku."
Segera saya hubungi buah hati, bertanya kapan dead line akhir pembayaran.Â
Dia jawab," Hari ini Umi."
Seketika pecah tangisan, makin deras air mata, bayangan dia harus berhenti kuliah di pelupuk mata. Saya kabarkan ini pada teman saya.
"Hari ini, Ya Allah. Sedang aku tak ada uang sama sekali."
"Wes jo nangis, tak transfer saiki. Ndang bayarno."
Gelegar bebunyian merupa nada shalawat badar memukuli kepala dan rasa. Haru bahagia bergumul dalam ketidak percayaan. Doa -doa paling tulus terpanjatkan, untuk kebaikan kawan yang dikirim Tuhan menyelesaikan masalah saya. Tuntas urusan. Anak saya bisa melanjutkan kuliahnya lagi. Semester 6 kala itu.
Tidak berhenti di situ, rupanya sahabat saya berinisiatif membuat sebuah yayasan untuk membantu biaya anak-anak alumni almamater yang kekurangan. Lewat program Educasi diberikan bantuan biaya itu tiap bulan, sebesar Rp.500.000. Menurutnya, anak saya adalah pilot project. Barokalloh, bantuan finansial itu rutin terkirim. Betul - betul meringankan saya dalam membiayai kuliah anak.
Hampir lewat 6 bulan peristiwa itu berlalu, saatnya membayar UKT lagi. Terjadi debat sengit antara saya dan anak. Antara mengurus penurunan lagi dan membayar seperti biasanya, tentu dengan alternatif pinjam atau mencari-cari cara.