Hal lain yang sangat saya suka darinya adalah ketika mendengar dia bercerita masa lalu, saat kecilnya. Dengan penggambaran desa jaman dahulu. Tidak ada mobil, baju kebaya, seperti yang dia kenakan zaman kini. Meski begitu si mbah tetap lincah menerobos pepohonan di kebun rimbun.
Menjajakan hasil kebun. Kacang panjang juga labu siam. Lalu digoda sinyo Belanda, anak pemilik loji nan tampan. Pada bagian itu senyum si mbah menjadi lebar. Terkekeh. Matanya menerawang, seolah kejadian itu baru saja terjadi.
Imajinasi saya mencatat. Ini seru di fiksikan. Menjadi ide selanjutnya menulis cerpen atau novel. Berlatar belakang masa penjajahan. Saya tidak mengalami memang. Tetapi mendengar cerita nenek, cukup bagi kembara imaji ini menangkap maksud kejadian.
Maka, itulah yang membuat hati ini begemirincing indah. Saling berbagi senyum, lepas tertawa. Lalu apa lagi yang disusahkan orang ketika merawat orang tua udzur?
Ajak tersenyum, maka akan bisa dinikmati rona bahagianya. Kita pun tertular juga, meski tetiba bening menggenang di dua bola mata saya. Akankah saya bisa tersenyum hingga seudzur nenek?
Ngroto, 11/06/2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H