Mulanya saya menganggap itu bagian dari kepikunan. Tetapi ketika lambat hari dia familiar dengan kehadiran saya dan tak lagi bertanya. Ini bukanlah pikun dalam arti yang sesungguhnya.
Hidupnya di dalam kamar, interaksi hanya dengan penghuni rumah, manalah tahu dia kondisi luar rumah, apalagi rupa tetangga yang jarang bertemu. Berkurang ingatan, saya mafhum itu. Juga tak mengenal siang malam. Maka satu hal yang bisa membuat saya tersenyum bahagia adalah ketika sukses menjelaskan padanya kondisi yang dihadapi.
" Sekarang waktunya sholat isyak, belum subuh."
" Itu tadi bulek Ti, istrinya Lek No."
Manggut - manggutnya dia adalah sesuatu. Senyumnya kala sadar akan keleliruan itulah yang saya nantikan. Yes, berhasil! Itu yang tertera di pikiran saya. Membuat dia berhasil memahami situasi, merupa keberhasilan lain yang menghasilkan kebahagiaan.
Sangat suka jika si mbah merasa bisa memahami yang dia hadapi dan mestinya dia lakukan.
" Yo wes lakno aku tak sembayang Isya'." Ya sudah kalau begitu saya akan sholat Isya'
" Eee Ti bojone No tah." E, ternyata Ti istrinya No.
Untuk selanjutnya dia bisa berkomunikasi wajar sesuai dengan keadaan.
Kebahagiaan tersendiri buat saya. Ada rasa keindahan tetiba sulit digambarkan memenuhi ruang rasa. Menemukan seni dalam senyumnya.
Menarik saya tersenyum pula. Inilah seni tersenyum itu. Melihat nenek tersenyum itu sesuatu banget. Betul tidak ada gigi, tapi rona wajah ceria meski keriput memenuhi muka memantulkan suka.