Membalas perlakuan sayang nenek, juga bercermin atas kemungkinan saya ketika tua bisa saja demikian. Meski tidak ingin, bisa terjadi bukan. Who knows. Siapa yang tahu masa depan kita nanti bagaimana?
Tua, sehat, bahagia, itu harapan. Tetapi kalau diberi sakit tua siapa yang bisa menolak? Itu yang termaktub di pikiran saya.
Itulah sebabnya saya jawab begini pada kerabat saya itu. " Gak papa mbak, masih lamaan nenek ngurusi pesing saya dibanding saya merawat nenek."
Dia tersenyum."Yo wes lakno rumaten sing apik mbahmu. Wayahe mbales iki." Ya sudah kalau begitu rawatlah nenekmu, kesempatanmu membalas ini.
Berdamai dengan keadaan sakit nenek membuat saya terbiasa menghadapi segala ketidaknyamanan yang diakibatkan sakitnya. Bukan hanya membersihkan diri dan tempatnya tetapi juga atas penurunan indera yang lainnya. Berkurang pendengaran, juga lemah tubuh akibat usia yang hampir menyentuh perkiraan 1 abad.
Menyuapi karena tangannya lemah, membantunya duduk, menggaruk atau memijiti anggota badannya yang dia keluhkan sakit. Maklum, tidur terus di ranjang tentu membuatnya gelisah. Saya hanya membantunya merasa sedikit nyaman itu saja. Melupakan sejenak kondisi lemah yang dimiliki agar tetap semangat bernafas.
Senyumnya, tawanya dengan gigi ompong itulah hal lain yang saya nanti. Menggodanya menceritakan masa selalu membuat matanya berbinar. Tentang pertemuan dengan kakek, masa remajanya saat jaman belanda dulu hingga bahagianya dia mempunyai cucu pertama. Semua itu bisa runtut dinarasi dan deskripsikan dengan baik.
Agak mengherankan dengan kondisi "pikun" yang disematkan orang padanya sekarang.Â
"Mbahmu wes pikun. Ora ruh dino. Isuk sholat isyak bengi subuhan." Nenekmu sudah pikun. Tidak tahu hari. Pagi sholat isyak, malam sholat subuh.
Itu yang dikatakan tetangga ketika saya memutuskan untuk selalu datang menemani. Mulanya saya dapati hal itu.
"Sampean sinten, dugi pundi?"Â Kamu siapa, dari mana? Sapaan menjadi pembuka pada siapa saja yang datang menjenguk.