Kagum pada sosok Dahlan Iskan, maka saya menonton film berjudul Sepatu Dahlan, sebagai inspirasi dibuatnya film ini. Meskipun tidak menonton di bioskop pada laga premiere saya sangat ingin mengikuti film itu. Hingga ketika dipariwarakan stasiun layar kaca swasta bahwa akan diputar film itu sebagai salah satu slot tayangan lebaran, kehadirannya betul-betul saya nantikan.
Ada hal lain yang ingin saya ketahui dari seorang Dahlan Iskan, mantan Menteri BUMN era SBY. Selain dari yang pernah saya baca di koran atau tabloid nasional.
Masa kecilnya, potret miskin, kehidupan sekolah, juga pertemanannya dengan 2 lelaki dan 1 perempuan sebagai sahabat dekat. Digambarkan cukup detil oleh Krishna Pabicara lewat novel berjudul sama. Itu ingin saya dapatkan di film, seperti apa jadinya.
Setting masa lalu, muka lugu Dahlan kecil yang diperankan Aji Santosa, betul-betul memikat mata. Karena judulnya mengandung kata Sepatu, maka yang saya amati ya kakinya.
Hebat, dia bisa lincah berlari tanpa alas kaki. Juga meloncat ketika bermain voli. Tak sia-sia Aji kabarnya berlatih "nyeker" alias tidak beralas kaki demi larut dalam perannya sebagai Dahlan kecil.
Aji sukses memerankan tokoh itu. Terlihat dari adegan pembuka yang langsung disuguhi pemandangan perkebunan tebu. Dia bersama sahabatnya Arif, Imran, Kadir, Komariyah dan Fadli sedang berusaha mencuri tebu. Dipergoki sinder, penjaga kebun tebu. Berlari kencang, dikejar-kejar tak berhasil menghindar. Tertangkap.
Sejurus kemudian adegan berpindah pada Dahlan di rumah sedang dipukul dua tapak tangannya oleh sang bapak, diperankan Donni Damara. Amarah juga kecewa mengiringi pukulan sang ayah pada Dahlan. " Ini Ndak Bisa dibiarkan."
Sang ibu, artis kawakan Kinaryosih tak tega, berusaha menghentikan. Pada pukulan yang kesekian, tangannya di arahkan menutup telapak tangan Dahlan yang akan dipukul. Menjadi tameng,"Jangan Pak!"
Kena tongkat kayu tangan sang Ibu. Seketika Bapaknya Dahlan menghentikan, beralih mengkhawatirkan keadaan istrinya yang menahan sakit. Berlalu dari hadapan ibu yang sedang memeluk anaknya.
Setiap hari Dahlan pergi dan pulang sekolah yang jauh, dilakoninya dengan berjalan kaki tanpa alas, tertusuk duri itu biasa. Namun  tak menyurutkan semangatnya untuk menuntut ilmu. Terus bersekolah dengan keadaan baju lusuh juga.
Satu  impian sederhana untuk memiliki sepasang sepatu serta sebuah sepeda melecut semangat juang. Bekerja paruh waktu. Menjadi buruh nyeset di kebun tebu. Lepas itu dia ngangon kambing yang dia pelihara, mencari rumput pula. Cukup menyita hari-hari.
Ibu yang selalu melindungi tak berusia panjang. Sakit merenggut nyawa, menutup mata di usia muda. Kini Dahlan hidup hanya dengan  bapak dan seorang adik lelaki.  Sementara kedua kakak perempuan Dahlan bekerja dan kuliah di Madiun, pulang hanya sesekali saja ke rumah.
Bapaknya bekerja sendiri kini, Ibu Dahlan yang biasa membatik untuk menambah uang belanja keluarga kini tiada. Kehidupan Dahlan dan keluarganya betul - betul terpuruk di bawah garis kemiskinan. Bersama Zain, adiknya, sering ia harus mengikat perutnya dengan sarung untuk menahan lapar.
Meski demikian Dahlan tetap ceria di sekolahnya. Hasil didikan sang ayah untuk tak mengharap belas kasihan orang tertanam. Bersama sahabat-sahabatnya Arif, Imran, Kadir, Komariyah dan Fadli tetap kompak. Bahkan mampu mengukir prestasi dalam pelajaran dan pertandingan Bola Voli.
Hingga suatu saat, Â Dahlan yang tergabung dalam tim Bola Voli di sekolahnya digadang-gadang menjadi anggotatim utama. Masalah muncul karena peserta diharuskan memakai sepatu. Sempat putus asa namun solidaritas teman mengalahkan pesimisme Dahlan.
Tanpa sepengetahuan Dahlan, sahabat-sahabatnya itu patungan. Mereka membeli sepatu untuk Dahlan. Adegan yang mengharukan sungguh. Air mata saya bak hujan deras tak berhenti. Mengalir terus di pipi. Apalagi saat Dahlan terngang mendapati sepatu barunya.
Dikenakan sepatu pertama yang dimiliki Dahlan itu, meski awalnya menolak karena lebih nyaman nyeker. Paksaan pelatih membuatnya memasuki gelanggang, adaptasi. Semangat mengalahkan rasa sakit pada kaki yang dialami. Pertandingan seru terjadi. Pesantren Takeran di mana Dahlan membela menang. Regu dan penonton juga pelatih bersorak senang. Namun tidak dengan Dahlan.
Kaki Dahlan sakit, setelah sepatu dibuka ternyata ada lecet di kakinya. Rupanya kekecilan. Diapun mencopot sepatu itu. Satu sosok  di kejauhan dihampiri Dahlan. Keluar dari lapangan.Bapaknya datang ditemani Zain, sang adik. "Maafkan bapak ya, tidak sempat menonton pertandingan."
Mereka datang terlambat, tapi tidak membuat bapaknya Dahlan terhambat memberi ucapan selamat. Satu bungkus kresek diserahkan kepada Dahlan. Isinya sepatu. Bapaknya datang membawa sepatu baru. Satu barang yang pernah dijanjikan oleh ibunya semasa hidup dulu.
Dia pegang, dicermati. Ukurannya pas dengan kakinya. Dahlan mengaku bahwa dia sudah dibelikan sepatu oleh kawan kawannya, tapi kekecilan. Zain yang mengetahui hal ini bersorak kegirangan."Kalau begitu sepatunya buat aku ya Kak."
Dahlan tersenyum mengangguk. Zain bahagia. Di akhir cerita teman-teman Dahlan memanggil, mengajak bergabung di lapangan. Merayakan kemenangan. Kawan-kawannya ramai- ramai menjunjung Dahlan. Bak Pahlawan.
Kawan sejati, yang tak pergi kala sedang susah, malah menunjukkan solidaritasnya saat dia hampir jatuh, mengulurkan tangan. Memberi bantuan, menumbuhkan motivasi lagi. Meraih impian kemudian. Itu yang dirasakan Dahlan. Juga penonton, saya tetap berlinang meski film telah berakhir, berganti iklan.
Ditulis Anis Hidayatie, untuk Kompasiana. Samber
9 Mei 2020: Rekomendasi film bertema "solidaritas" (Label: Samber 2020 Hari 13 & Samber THR)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H