Ibu yang selalu melindungi tak berusia panjang. Sakit merenggut nyawa, menutup mata di usia muda. Kini Dahlan hidup hanya dengan  bapak dan seorang adik lelaki.  Sementara kedua kakak perempuan Dahlan bekerja dan kuliah di Madiun, pulang hanya sesekali saja ke rumah.
Bapaknya bekerja sendiri kini, Ibu Dahlan yang biasa membatik untuk menambah uang belanja keluarga kini tiada. Kehidupan Dahlan dan keluarganya betul - betul terpuruk di bawah garis kemiskinan. Bersama Zain, adiknya, sering ia harus mengikat perutnya dengan sarung untuk menahan lapar.
Meski demikian Dahlan tetap ceria di sekolahnya. Hasil didikan sang ayah untuk tak mengharap belas kasihan orang tertanam. Bersama sahabat-sahabatnya Arif, Imran, Kadir, Komariyah dan Fadli tetap kompak. Bahkan mampu mengukir prestasi dalam pelajaran dan pertandingan Bola Voli.
Hingga suatu saat, Â Dahlan yang tergabung dalam tim Bola Voli di sekolahnya digadang-gadang menjadi anggotatim utama. Masalah muncul karena peserta diharuskan memakai sepatu. Sempat putus asa namun solidaritas teman mengalahkan pesimisme Dahlan.
Tanpa sepengetahuan Dahlan, sahabat-sahabatnya itu patungan. Mereka membeli sepatu untuk Dahlan. Adegan yang mengharukan sungguh. Air mata saya bak hujan deras tak berhenti. Mengalir terus di pipi. Apalagi saat Dahlan terngang mendapati sepatu barunya.
Dikenakan sepatu pertama yang dimiliki Dahlan itu, meski awalnya menolak karena lebih nyaman nyeker. Paksaan pelatih membuatnya memasuki gelanggang, adaptasi. Semangat mengalahkan rasa sakit pada kaki yang dialami. Pertandingan seru terjadi. Pesantren Takeran di mana Dahlan membela menang. Regu dan penonton juga pelatih bersorak senang. Namun tidak dengan Dahlan.
Kaki Dahlan sakit, setelah sepatu dibuka ternyata ada lecet di kakinya. Rupanya kekecilan. Diapun mencopot sepatu itu. Satu sosok  di kejauhan dihampiri Dahlan. Keluar dari lapangan.Bapaknya datang ditemani Zain, sang adik. "Maafkan bapak ya, tidak sempat menonton pertandingan."
Mereka datang terlambat, tapi tidak membuat bapaknya Dahlan terhambat memberi ucapan selamat. Satu bungkus kresek diserahkan kepada Dahlan. Isinya sepatu. Bapaknya datang membawa sepatu baru. Satu barang yang pernah dijanjikan oleh ibunya semasa hidup dulu.
Dia pegang, dicermati. Ukurannya pas dengan kakinya. Dahlan mengaku bahwa dia sudah dibelikan sepatu oleh kawan kawannya, tapi kekecilan. Zain yang mengetahui hal ini bersorak kegirangan."Kalau begitu sepatunya buat aku ya Kak."
Dahlan tersenyum mengangguk. Zain bahagia. Di akhir cerita teman-teman Dahlan memanggil, mengajak bergabung di lapangan. Merayakan kemenangan. Kawan-kawannya ramai- ramai menjunjung Dahlan. Bak Pahlawan.
Kawan sejati, yang tak pergi kala sedang susah, malah menunjukkan solidaritasnya saat dia hampir jatuh, mengulurkan tangan. Memberi bantuan, menumbuhkan motivasi lagi. Meraih impian kemudian. Itu yang dirasakan Dahlan. Juga penonton, saya tetap berlinang meski film telah berakhir, berganti iklan.