Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penolakan, Potret "Primitif" Masyarakat yang Masih Melekat

19 April 2020   12:09 Diperbarui: 19 April 2020   18:00 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terhadap hal ini, ada dua model sikap di masyarakat kita yang berkembang. Berdasarkan pengamatan saya saja. 

Pertama, mereka yang tahu betul tentang virus ini beserta cara menyikapi. Antisipasi pribadi, distancing, stay at home. Tak ada masalah dengan mereka. Kepatuhan terhadap anjuran menjadi hal utama pada kelompok ini. 

Tingkat pendidikan yang baik serta pengetahuan yang benar, dan nalar sehat yang mereka miliki membuat mereka pada situasi tetap nyaman meski harus waspada. Inilah potret masyarakat yang patut menjadi teladan. Keberadaannya harus digandeng menjadi influencer. Corong  pengabaran hal-hal yang harus dilakukan. Termasuk mengusung kampanye empati, mengedepankan martabat masyarakat. Menjadi manusia berbudi.

Kedua, mereka yang setengah memahami dan  setengah mengerti. Tahu bahwa virus itu mematikan, sehingga segala bentuk informasi pencegahan di telan mentah-mentah. Supaya diri aman bahkan rela memusuhi mereka yang dianggap terindikasi. Lalu menggerakkan jari, juga kata-kata.

Mengajak orang lain melakukan hal serupa. Seolah diri paling suci, yang tak sama dengannya adalah aib, tidak boleh ada di antara mereka. Bahkan jenazahnya. 3 orang telah ditangkap untuk aksi provokasi penolakan jenazah perawat tadi.

Ketiga, mereka yang tak peduli. Menganggap diri kebal. Atau merasa tak bakal terinveksi. Kalau mati karena Corona ya " Wes Wayahe". Jenis masyarakat inilah yang sering membuat para medis kesal. Saya juga, sebagian besar orang juga.

"Sebal mbak liat mereka dengan santainya kembali turun ke jalanan. Apalagi ketawa ketiwi nongkrong, merokok, main skak. Sempat-sempatnya. Seolah aman tak bakal kena apa-apa. Padahal, siapa yang tahu mereka udah ke mana saja selama inkubasi, udah berkontak sama siapa aja, terus orang yang berkontak udah berkontak lagi dengan siapa saja dan seterusnya. Kalau mereka kena kan nakutin kami juga." Cetus Jun Ishaq. Asisten dentist sahabat saya yang asal Aceh.

"Yang tenaga medis, kalau boleh bertukar peran, lebih senang di rumah aja ikut anjuran pemerintah."

Dewi Laily, doc.pri
Dewi Laily, doc.pri
Begitu dikatakan Dewi Layli  Kompasianer pemuisi dokter gigi asal Kediri. Menanggapi masih banyaknya masyarakat yang kurang mengindahkan anjuran stay at home, work from home.

Corona bukanlah aib, yang membuat seseorang akan jatuh harga diri karenanya. Semua orang berpeluang sama bila terkena. Jadi mari berpikir, selangkah lebih maju dari orang-orang primitif. Mau belajar, mau dan mau menerima pelajaran. 

Apa dan bagaimana sesungguhnya Covid-19. Sehingga bisa diambil sikap tepat menghadapinya. Tidak over convident tak pula paranoid. Yang tengah-tengah saja. Ambil sikap dan keputusan tepat. Khoirul umuri ausatuha. Win win solution. Baik untuk semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun