Setelah saya jelaskan hanya sesak saja, dengan rekam sakit pernah bronchitis dia melanjutkan bertanya tenang.
"Biasaya obat apa yang diminum?"
"Wah, saya tidak hafal."
"Diuap ya?" Tawarnya kemudian.
Bersamaan jawaban Ya, perawat lain mulai menyiapkan tabung oksigen, dengan selang dihirup si sulung. Perubahan rona saya saksikan, mulai terlihat cerah mukanya, tak lagi pucat seperti ketika tadi dia mengeluh susah bernapas. Lega, bismillah membaik, segera sembuh.
Berarti kondisi tidak mengkhawatirkan. Syukurlah. Ketakutan saya berangsur hilang. Bayangan bertemu ruang isolasi penderita Covid-19 musnah sudah. Meski begitu sampai di rumah standard kebiasaan setelah bepergian tetap saya berlakukan.
Cuci tangan, masuk kamar mandi, pun ganti baju. Sebelum akhirnya lelaki sulung saya makan nasi dan ceplok telur andalan serta meminum obat pengantar lanjut tidur.
Situasi dalam cengkeram berita corona betul-betul saya rasakan. Ketakutan muncul untuk semua situasi. Ini bisa jadi psychosomatis kalau tak waspada. Seperti yang diakui beberapa pasien terindikasi, PDP. Tekanan mental, berita buruk turut mempengaruhi kesehatan.
Jangan tunda, apalagi menunggu sampai parah, itu akan memperberat tugas paramedis yang sekarang juga berada dalam situasi berat. Dokter dan perawat medis itu saat ini sebenar-benar pejuang.
Kita ringankan beban mereka untuk tidak sakit. Stay at home. Atau kalau sakit jangan tunda, segera periksa. Bila segera tertangani tentu berakibat baik pula. Meminimalkan pasien dalam pantauan. Meringankan tugas pengawasan.