Menjadi orang pinggiran tak ada yang menginginkan. Miskin, harus membanting tulang dahulu dengan pekerjaan rendahan tak pernah ada yang mengharapkan. Tiap orang maunya terlahir kaya raya, hidup enak tanpa perlu susah mengais apa-apa. Tercukupi segala kebutuhan. Sandang, pangan, papan. Tapi apa ya bisa begitu kalau nasib tidak memihak?Â
Nrimo ing pandum. Itu yang kami lakukan, sambil tak henti berusaha serta berdoa sekuat tenaga. Ada di makan, tak ada ya mengusahakan, kalau tak dapat juga, ya puasa. Meski harus berbuka hanya dengan seteguk air putih saja. Yang penting hari itu bisa terlewatkan sempurna, bisa berpuasa bisa berbuka.
Lalu kalau dalam ritual berbuka perut  masih berbunyi akibat kurang isi, ya sabar saja. Melupakan dengan doa, dengan sugesti. Pasti , Gusti Allah, Gusti kang murbeing dumadi akan berikan rezeki. Entah bagaimana caranya. Dari arah yang tak disangka.
Hal itulah yang saya rasa juga  berlaku pada keluarga perempuan dengan berprofesi seperti saya, pedagang keliling. Yuyun Cahyaningsih (37), warga asal RT05/RW 08, Kelurahan Pemancangan Baru, Kecamatan Cipocok jaya, Kota Serang, dalam menghadapi situasi sulit ini.
Yuyun yang juga biasa menjadi buruh setrika untuk tetangga ini mengaku sudah 4 hari menahan lapar. 2 anaknya melakukan hal yang sama. Dilansir Gonews hari  Minggu 5/3/2020 Yuyun mengatakan,"Jadi saya enggak punya pemasukan gara-gara Corona ini. Kan enggak boleh keluar, jadi orang-orang ngegosok sendiri. Anak saya seminggu puasa, mulai dari Senin sampai Kamis kemarin," keluh Yuyun saat ditemui di kediamannya, Jumat (3/4/2020).
Suami yang biasanya menjadi buruh lepas tak bisa berbuat apa-apa. Sakit mendera, dia dalam keadaan meringkuk nestapa, tak bisa memberikan penghasilan, malah menjadi beban. Sedih sungguh, disaat tenaganya sangat dibutuhkan malah tak berdaya. Bersyukur Yuyun  tinggal di rumah warisan keluarga suami, sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya sewa. Tinggal berpikir mengepulkan dapur saja. Pakaian apalagi gaya hidup jauh dari pikiran.
Kehadiran Corona membuatnya betul-betul terpuruk. Sudah susah memikirkan bagaimana bisa makan setiap hari, merawat suami sakit, harus pula memikirkan belajar di rumah bagi anaknya yang sekolah dengan model belajar online. Jangankan memenuhi gaya hidup beli hape dengan kewajiban mengisi paket data, untuk makan setiap hari saja susah.
Kebijakan pemerintah yang mengharuskan siswa belajar di rumah menambah daftar panjang kesulitan Yuyun. Anaknya tak bisa mengikuti belajar itu, secara tidak memiliki gawai. Beruntung sang wali kelas anak mengerti kondisi, bersedia memberi pinjaman handphone  kepada anaknya untuk dipakai belajar online.
Tak tahan dengan keadaan, Yuyun mengutarakan pada tetangganya. berkeluh kesah, sampai akhirnya dia diarahkan agar menghubungi Relawan Banten Melawan Corona (RBMC).
"Saya ngeluh nggak punya beras, gosok saya sepi. Kemarin saya bingung, terus disuruh kontak Untirta (RBMC) peduli. Kepepet, saking kepepetnya, malu sebenernya mah," terangnya  pada gonews."
Ada respon,  Yuyunpun  mendapatkan bantuan, relawan dari RMBC datang berkunjung ke  rumah Yuyun, memberikan bantuan sumbangan kebutuhan Yuyun dan keluarganya. Koordinator RBMC yang juga Akademisi Untirta, Hendra Leo Munggaran ketika berada di rumah Yuyun menjelaskan bahwa ini adalah sebentuk kepedulian antar sesama. Lebih lanjut dia mengaku, bantuan yang diberikan  berasal dari para donatur dan relawan dari berbagai daerah, bukan hanya Banten saja.
Kisah Yuyun saya yakin bukan satu satunya, ada banyak Yuyun Yuyun lain yang kita tak tahu di mana berada, bagaimana keadaannya. Luput dari berita. Karena efek Corona memang demikian besarnya, banyak sendi kehidupan yang tak sanggup menghadapi keadaan ini.
Corona memang mengakibatkan kematian, Tsah, tak ada bantahan tentang itu. Tetapi peduli kepada nasib mereka yang tidak terpapar virus tapi mengalami sekarat periuk nasi harusnya dipikirkan pula. Kelaparan, bisa mengakibatkan kematian.
Ada banyak kasus di dunia ini yang menunjukkan betapa perut kosong mampu menyebabkan hilangnya nyawa seseorang. Simak beberapa rilis berita terkait hal tersebut:
1. Kompas.com, pada Kamis, 26 Juli 2018 | 20:21 WIB menulis ada ratusan warga suku Mausu Ane, Pulau Seram Maluku menderita kelaparan. Ini terjadi sejak dua pekan terakhir setelah hasil perkebunan warga diserang hama. Dalam hal ini Polri menyebutkan tiga Orang Meninggal Dunia karena Kelaparan.
2. Suara.com, seperti dilansir Harian Jogja---jaringan Suara.com, Jumat (29/12/2017) menulis Seorang laki-laki berusia 40 tahun di Ponggalan Bawah, Giwangan, Kecamatan Umbuharjo, Daerah Istimewa Yogyakarta, ditemukan tewas di kamarnya dalam kondisi membusuk Kamis (28/12/2017).
Laki-laki bernama Tuji Harmanto itu diduga tewas karena tidak makan alias kelaparan."Berdasarkan pemeriksaan luar dirinya tidak ada tandapenganiayaan, diduga korban meninggal dunia karena tidak keluar rumah dan tidak makan," jelas  Kepala Kepolisian Umbulharjo Komisaris Sutikno waktu itu.
3. Suara.com - pada  Rabu, 01 Oktober 2014 | 14:01 WI mengabarkan seorang ibu, Ebony Berry (37 tahun) mengaku bersalah telah menelantarkan anaknya dalam persidangan yang digelar di Atlanta, Amerika Serikat, Selasa (30/9/2014). Berry didakwa telah membiarkan putrinya, Markea (16 tahun) kelaparan hingga akhirnya meninggal.
4. Suara.com -Minggu, 05 Maret 2017 | 17:08 WIB merilis judul yang memilukan hati. Tragis! Dalam 48 Jam, 100 Warga Somalia Tewas Kelaparan. Yang tewas rata-rata kaum perempuan dan anak-anak. Dengan sebuah keterangan dari Rusia Today, Â Unicef menyebutkan data 1,4 miliar anak-anak di Somalia, Nigeria, Sudan selatan, dan Yaman, terancam tewas karena kekurangan bahan pangan.
Terkini, ada berita memilukan ditulis Kompas.com 5 April 2020. Yang menyoroti unggahan video viral dari CCTV tentang jatuhnya pengendara sepeda.  Merilis dengan gambar rekaman gambar pria tergeletak bertulis  "Viral, Dikira Tergeletak karena Corona, Seorang Pria Ternyata Kelaparan."
Ada seorang bapak yang jatuh dari Sepeda dan menahan kesakitan di jalan. Petugas yang  memantau dari cctv langsung memanggil Petugas di lapangan Bersama Polwan yang bertugas di @atcsmedan. Kebetulan ada Bapak Polisi yang melintas dan sudah monitor di HT lalu membantu Bapak yang Jatuh.
Awalnya warga takut dia Corona, namun setelah ada informasi kalau dia menderita sakit lambung dan kelaparan, warga memberikan nasi kotak, roti dan minuman botol.
Potret Yuyun, potret bapak di Medan beserta 4 kasus kematian di atas tersebab kelaparan, bagi saya bukan kebetulan. Nyata, lapar bisa mengakibatkan kematian. Sehingga ketika orang-orang pinggiran mengaku lebih takut dengan kematian karena kelaparan daripada dengan Corona saya memaklumi.

Senada dengan penuturan pengemudi ojek di Luanda Angola yang dilansir Kronologi.id Garcia Landu. Menurutnya, ia punya anak dan istri yang harus dipenuhi sandang dan pangan sehari-harinya.
"Lebih baik mati karena penyakit ini (corona) ataupun tembakan daripada mati kelaparan. Mati kelaparan, saya tak akan pernah menerima itu. Saya tak bisa," tegasnya, dilaporkan AFP pada Senin 6 April 2020.
Ketakutan yang masuk akal, karena tak kuat menahan beban kehidupan. Makan untuk hidup. Betul itu. Puasa tak mengapa, tapi kalau setiap hari bingung memikirkan yang akan dipakai berbuka, itu menjadi tekanan psikologis yang luar biasa. Saya mafhum, tahu rasanya.
Maka untuk mengatasi hal itu, bilakah dibuka posko darurat kelaparan? Hotline service. Bukan hanya untuk pengendalian Covid-19. Seperti yang dilakukan Relawan Banten Melawan Corona (RBMC). Harusnya, pemerintah bisa berperan serta. Ada dana desa milyaran di garda depan. Ada dana kelurahan kota ratusan juta. Itu bisa dimanfaatkan.
Regulasi penggunaan dana  untuk sosialisasi dan penanganan Covid-19 memang telah ada, menggunakan dana tersebut. Namun bila bisa pula dialokasikan untuk mereka yang membutuhkan bantuan pemenuhan sembako bagi keluarga terdampak Corona, itu akan menyelamatkan lebih banyak nyawa.
Betul telah ada anggaran dana pemerintah pusat yang akan menggelontorkan Rp. 405,1 triliun guna menangani pandemi virus corona atau Covid-19 di Indonesia. Anggaran tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan Belanjan Nasional (APBN) 2020. Namun bila proses cairnya berbelit dan tidak teralokasikan untuk keluarga terdampak, yang ada kemungkinan "mati"kelaparan akibat menanggung beratnya efek Corona, rasanya tidak fair juga.
Jadi hemat saya, dirikan posko dan buka hotline service, tidak hanya untuk mengahadapi Covid-19 tapi juga keluarga yang berpotensi "kelaparan". Di tiap desa atau kelurahan, dengan informasi berjenjang. Dari ujung tombak paling dekat dengan warga, RT, RW, dusun, lalu ditangani bersama. Menggunakan dana yang dipunya. Agar mata rantai persoalan putus, tertangani segera. Untuk Indonesia bebas dari kematian akibat Corona dan kelaparan.
Ditulis Anis Hidayatie, untuk Kompasiana
Ngroto, Berangkat keliling. Selasa, 7 April 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI