Aku melihat mendung dalam matamu. "Apakah kau akan merebut malam-malamku?" katamu khawatir. Malam adalah tempat bagaimana aku menghidupkan lampu. Juga tempat menumpahkan keriuhan di keheningan hatikuJuga, katamu lagi, malam adalah kesempatanku mempunyai air mata
"Bagaimana mungkin?" jawabku. "Aku akan selalu teringat dengan gambar sepasang angsa bercumbu di danau. Kitakah itu?"
Lalu angsa di gambar itu seperti menertawakan kesunyian yang makin merajam sukma. Â Hujan air mata selalu saja tumpah sebelum kau menandakan kehadiran di penghujung malam. Kuseka segera ketika aroma tubuhmu mulai tercium. Menyiapkan tungku terhangat dari hati yang diamuk keinginan bertemu. Â
"Apakah kau menungguku?" Tanyamu dengan senyum penuh kemenangan. Mencabik keangkuhan yang selalu saja kupertontonkan. Â Malam betul-betul telah merampasmu hanya untukku.
Pelukan tererat menjawab ketidak berdayaan sendiri ini. Â Lampu-lampu memang selalu kunyalakan ketika tiba temaram, Â tak percaya pada sinar bulan meski bulat purnama dengan cahaya benderang. Takutku tak bisa menangkap bayang kedatanganmu. Â
Padahal ketika kau datang, Â lemah lunglai seringkali menimpa persendian tulang. Â Tak mampu menatap hunjaman pandangan pada mata yang kupunya. Â Hingga pejam menjadi satu - satunya sikap yang bisa kupersembahkan untuk menyambut belaianmu. Â
Anak-anak rambut di keningku tak henti menantikan usapan, Â juga garis rahang dan rona pipi ini. Â Enggan berpisah menafikan keinginan kuat menolak hidup berpasangan lagi.
Sungguh aku tak inginkan itu pada mulanya, Â meski kau rajin menghampiri. Kukatakan, cukup lukisan itu saja penawar hasrat terpendam dada ini. Jangan ada legalitas, karena dunia siang pasti akan menghujatku habis-habisan jika tahu aku bersuami lagi.
Ternyata kini, Â tak hanya malam yang ingin kurampas dari waktumu. Â Juga pagi, Â siang, Â sore atau senja. Â Kuingin seluruh waktu bersekutu demi keberadaanmu. Percumbuan angsa mauku tak hanya untuk diingat. Â Namun, Â keindahan dengan segala rupa ingin kececap nyata. Mengorbankan martabat tinggi menjadi satu satunya pilihan bila itu terjadi.
Tak lagi dianggap suci atau terhormat lagi. Â Kesetiaan yang mereka minta dariku untuk mendiang pendampingku seumur hidup menjadi tuntutan tak terbantahkan. Â Mereka tak rela aku mendua. Karena di dalam pandangan mereka ini adalah aib. Â Noda dari tuntutan kesetiaan sehidup semati, Â bahkan maut tak boleh memisahkan. Â Harus berlanjut hingga dunia berganti alam.
"Kalau begitu kita menikah sekarang." Katamu dengan penawaran sama seperti malam-malam terdahulu.
" Aku ingin sekali, kau tahu itu. Â Tapi bagaimana dengan alasan alasan yang kupunya? Â Baiklah aku bisa menerima makian dan cibiran orang, Â tapi bagaimana dengan buah hati semata wayangku? Arjun akan dikucilkan teman-temannya di sekolah. Â Menjadi sumber gunjingan yang tiada habisnya. "
Dekapanmu merenggang, Â menelisik dua bola mata, Â lalu satu telunjuk menutup bibirku untuk tak lagi berkata-kata. Â
"Kita akan lewati semua, Â aku akan pastikan kau akan tetap menjadi perempuan terhormat, Â lebih dari sekarang juga Arjun. Dia akan baik-baik saja dengan pernikahan kita."
"Bagaimana caranya?"
Senyummu mengakhiri percakapan malam, pelukan erat berakhir, satu bisikan lembut membuai telinga.
"Percayakan semua padaku, Â langkah awal menuju pelaminan akan kumulai ketika mentari menyapa fajar nanti. Kau lihat saja apa yang bisa aku buat untuk terwujudnya pernikahan kita."
Pintu kedatangan kubiarkan terbuka lebar. Â Kali ini tidak dengan air mata, Â namun dengan ribuan bunga bermekaran menanti janjinya segera ditunaikan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H