Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manusia Berusaha, Tuhan yang Menentukan

25 Maret 2020   09:18 Diperbarui: 25 Maret 2020   09:27 1496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kalimat yang begitu klise terdengar,  akrab. Kerap kali nenjadi penguat ketika orang mengalami kegagalan, keterpurukan atau perolehan yang mengecewakan. Tidak sebanding dengan usaha yang telah dilakukan.

Semisal kematian karena sakit. Orang-orang sekitar pasti banyak yang menghibur dengan kata,"Kau sudah lakukan upaya, kalau dia tak tertolong itu karena umur, lahir, jodoh dan mati, Tuhan yang punya. Yang ikhlas ya."

Betul memang, tak syak diragukan. Saya pernah alami dan mengingatnya, sungguh menyayat sukma. Untuk belahan nyawa,  saya kejar kesembuhannya sedemikian rupa, berpindah Rumah Sakit,  tinggal di sana berbulan lamanya. Hanya dengan satu fokus, sembuh.  

Segenap saran dari yang masuk akal hingga yang nirlogika berdatangan,  saya tampung. Pilah dan pilih.

 Masih berupaya mengedepankan nalar sehat untuk tidak terprovokasi hal-hal yang merugikan diri sendiri. Seperti saran pengobatan alternatif aneh. Bukan saja bisa makin membahayakan keadaan penderita, misal mengkonsumsi air doa dengan ludah atau tinta bertulis rajah penyembuhan, tapi juga menjaga akidah atau keyakinan agar tak terjebak pada tingkah menduakan Tuhan.

Berdoa perlu, berusaha wajib. Hingga Ketika satu kenyataan pandangan memilukan terhidang,  kepasrahan menjadi akhir dari segala ikhtiar.

"Tuhan, kalau hidup baginya lebih baik,  berikan kesempatan menghidup udara,  menjadi khalifahmu lagi di dunia. Tapi bila menurutMu dia akan baik-baik di hadapan Mu,  ambillah dia dengan khusnul khotimah. Sambut ruhnya dengan sebaik-baik penyambutan. Pertemukan dia dengan makhluk terbaik ciptaanmu,  kekasihnya selama nafas dikandung badan di dunia. Muhammad. Satu makhluk yang tak henti dia sebut selain namaMu dalam dzikir panjang mulutnya."

"Kuikhlaskan dia untukMu ya Rabb."

Maka seketika intensitas tarikan nafasnya makin berkurang . Bisikan saya ditelinga hanya tinggal satu nama pencipta,  Allah. Agar dia ikuti dalam sadar maupun bawah sadar. Genggam tangan makin melemah,  suhu tubuh hangatnya makin berkurang,  angka penunjuk tensi tak lagi beraturan,  detak jantungpun demikian.

Hingga pada satu tanda menakutkan yang sungguh saya tak mau melihat terpampang di hadapan.  Garis lurus di layar monitor atas seluruh kabel yang melekat di tubuh tersaji.  
Berhenti, seluruh elemen gerak tubuhnya berhenti,  tak lagi terdeteksi. Mati.

Itulah puncak dari seluruh kepasrahan. Sedih duka melumuri sendi, tak mampu berdiri, padahal tadi, penuh yakin dia  saya serahkan, ikhlas. Ternyata tak semudah ucapan.

Inikah cinta sejati itu?  Yang ketika harus berpisah seolah nyawa ingin ikut pula? Andai tak ada tinggalan buah hati,  atau takut bekal ini belum cukup,  tentu saya akan utarakan,"Tuhan. Ambil nyawa ini pula. Aku ingin menemaninya."

Sampai detik ini kadang saya masih sering menghitung ikhtiar,  kurang apa usaha ini untuknya?  Sehingga harus menyaksikan dia meregang nyawa?  

Makanya,  kalau saya mendengar kabar ada yang sakit,  entah kawan atau saudara, segera  usaha menjenguk.  Melihat kemungkinan apa yang bisa dilakukan agar si sakit segera sembuh. Memaksimalkan usaha sebelum  takdir berkata lain.

Halnya dengan situasi sekarang,  virus mematikan sedang mengancam.  Perang,  saya mau lakukan itu. Tak ingin melihat orang  mati, atau bahkan saya sendiri menjadi korban.  Upaya keras harus dilakukan agar tak terjangkit virus Covid-19  yang konon kabarnya makin meluas,  pula jumlah korban bertambah.

Dengan melakukan beberapa ikhtiar  yang dianjurkan. Jaga jarak, tak bersentuhan, jaga kebersihan diri, juga lingkungan,  serta yang terpenting jaga kesehatan. Bukan semata-mata  karena takut terhadap  serangan virus,  tetapi hal itu juga perintah Tuhan. Annadhofatu minal iman. Kebersihan adalah sebagian dari iman.

Dalam hal penanganan terhadap Corona ini, issue berbungkus agama merebak, tanpa dibarengi pemahaman ilmu agama. Yakni tentang iman kepada takdir. Mereka yang melakukan banyak tindakan ikhtiar untuk tak terjangkit Covid 19 dituduh segelintir orang miskin iman. Tak takut Tuhan tapi takut Corona.  

Dengan lazimnya  kata-kata,"Saya tak takut Corona, hanya takut Allah". 

Kalimat ini kelihatannya benar dan menggambarkan keimanan mereka yang tinggi. Namun, sebenarnya  hal itu sebagaimana kata kawan saya Ustadz Turmudzi Maki, guru Agama SMPN 1 Gondang Legi Malang "sarat akan paham Jabariyyah" dalam kajian Aqidah, atau teologi fatalis, pasrah mutlak tanpa usaha.

Meski sejatinya,  sengeyel apapun manusia pasrah,  dia tak bisa lepas dari usaha.  Coba saja lihat, saat di perlintasan kereta api,  ada kereta sedang melaju cepat,  saya tidak yakin dia, penganut faham pasrah model begitu akan terus berjalan menghadang. Reflek pasti menghindar. Itulah sunnatullah. Hal-hal yang mesti berlaku dan memang keharusan dilaksanakan.

Sikap fatalistik beragama itu saya tak mempermasalahkan  sejauh hanya untuk keshalehan pribadi. Namun, jika ia memiliki konsekuensi pada keselamatan orang banyak, hal itu sangat berbahaya. Di tengah issue penularan virus seperti sekarang  ini, teologi fatalistik jelas bisa berakibat fatal.

Untuk ketaatan pada keyakinan, saya tidak menampik kita harus pula berguru,  patuh pada tokoh atau panutan. Namun jika ada orang yang ingin nderek dawuh (ikut sabda) tokoh agama, saya sepakat dengan dawuh sahabat saya Ustadz  Ahmad Zainul Hamdi, guru besar,  dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya,  "Ndereklah dawuh Kanjeng Nabi Muhammad, 'Ikatlah untamu lalu bertawakallah kepada Allah!' "

Berusaha dahulu sampai titik paling bisa baru terima segala apapun keputusan Tuhan. Termasuk bila ada kemungkinan terjangkit penyakit, mati karenanya. Sebab takdir kematian serta cara berakhirnya,  saya yakin telah pula tertulis di lauhul Mahfudz jauh sebelum  manusia itu terlahir ke dunia. Manusia hanya mengajukan proposal. Hak prerogatif tetap di tangan Tuhan.

Dalam konteks merebaknya epidemi virus corona saat ini, kata-kata Ustadz  Inung, begitu saya biasa memanggil, bagi saya bisa dijadikan referensi sikap, "Dawuh itu bisa bermakna  ambil langkah yang tepat untuk melindungi dirimu dan orang-orang di sekitarmu dari infeksi Covid-19, lalu bertawakkallah kepada Allah mau pakai doa, qunut, atau, hizb, terserah!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun