Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Manusia Berusaha, Tuhan yang Menentukan

25 Maret 2020   09:18 Diperbarui: 25 Maret 2020   09:27 1496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Halnya dengan situasi sekarang,  virus mematikan sedang mengancam.  Perang,  saya mau lakukan itu. Tak ingin melihat orang  mati, atau bahkan saya sendiri menjadi korban.  Upaya keras harus dilakukan agar tak terjangkit virus Covid-19  yang konon kabarnya makin meluas,  pula jumlah korban bertambah.

Dengan melakukan beberapa ikhtiar  yang dianjurkan. Jaga jarak, tak bersentuhan, jaga kebersihan diri, juga lingkungan,  serta yang terpenting jaga kesehatan. Bukan semata-mata  karena takut terhadap  serangan virus,  tetapi hal itu juga perintah Tuhan. Annadhofatu minal iman. Kebersihan adalah sebagian dari iman.

Dalam hal penanganan terhadap Corona ini, issue berbungkus agama merebak, tanpa dibarengi pemahaman ilmu agama. Yakni tentang iman kepada takdir. Mereka yang melakukan banyak tindakan ikhtiar untuk tak terjangkit Covid 19 dituduh segelintir orang miskin iman. Tak takut Tuhan tapi takut Corona.  

Dengan lazimnya  kata-kata,"Saya tak takut Corona, hanya takut Allah". 

Kalimat ini kelihatannya benar dan menggambarkan keimanan mereka yang tinggi. Namun, sebenarnya  hal itu sebagaimana kata kawan saya Ustadz Turmudzi Maki, guru Agama SMPN 1 Gondang Legi Malang "sarat akan paham Jabariyyah" dalam kajian Aqidah, atau teologi fatalis, pasrah mutlak tanpa usaha.

Meski sejatinya,  sengeyel apapun manusia pasrah,  dia tak bisa lepas dari usaha.  Coba saja lihat, saat di perlintasan kereta api,  ada kereta sedang melaju cepat,  saya tidak yakin dia, penganut faham pasrah model begitu akan terus berjalan menghadang. Reflek pasti menghindar. Itulah sunnatullah. Hal-hal yang mesti berlaku dan memang keharusan dilaksanakan.

Sikap fatalistik beragama itu saya tak mempermasalahkan  sejauh hanya untuk keshalehan pribadi. Namun, jika ia memiliki konsekuensi pada keselamatan orang banyak, hal itu sangat berbahaya. Di tengah issue penularan virus seperti sekarang  ini, teologi fatalistik jelas bisa berakibat fatal.

Untuk ketaatan pada keyakinan, saya tidak menampik kita harus pula berguru,  patuh pada tokoh atau panutan. Namun jika ada orang yang ingin nderek dawuh (ikut sabda) tokoh agama, saya sepakat dengan dawuh sahabat saya Ustadz  Ahmad Zainul Hamdi, guru besar,  dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya,  "Ndereklah dawuh Kanjeng Nabi Muhammad, 'Ikatlah untamu lalu bertawakallah kepada Allah!' "

Berusaha dahulu sampai titik paling bisa baru terima segala apapun keputusan Tuhan. Termasuk bila ada kemungkinan terjangkit penyakit, mati karenanya. Sebab takdir kematian serta cara berakhirnya,  saya yakin telah pula tertulis di lauhul Mahfudz jauh sebelum  manusia itu terlahir ke dunia. Manusia hanya mengajukan proposal. Hak prerogatif tetap di tangan Tuhan.

Dalam konteks merebaknya epidemi virus corona saat ini, kata-kata Ustadz  Inung, begitu saya biasa memanggil, bagi saya bisa dijadikan referensi sikap, "Dawuh itu bisa bermakna  ambil langkah yang tepat untuk melindungi dirimu dan orang-orang di sekitarmu dari infeksi Covid-19, lalu bertawakkallah kepada Allah mau pakai doa, qunut, atau, hizb, terserah!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun