"Nggak Ada Kegiatan, Ya Nikah." Begitu dikatakan Emi, sebut saja demikian menjawab pertanyaan kami saat tour literasi di Dusun Batu Jong Desa Bilok Petung kecamatan Sembalun, Sembalun Lombok Timur. Â
Usianya masih 17 tahun, tapi anak kandungnya sudah ada dalam gendongan. Menikah muda rupanya. Ternyata betul, ketika saya tanya dia menikah di usia 14 tahun. Â
Usia yang harusnya dia habiskan di bangku sekolah lanjutan pertama. Kondisi ini tak hanya dialami Emi, hampir seluruh perempuan di Batu Jong menikah muda. Terhenyak, saya melihat rona murid saya di Malang.
Mereka seusia, masih SMP harusnya, dengan kesibukan belajar menghadapi ujian. Atau berkegiatan ekstrakurikuler dengan teman sebaya. Bukan menggendong anak, kumpul dengan ibu ibu seperti yang mereka lakukan saat ini.
Ada apakah di tempat ini? Mengapa wajah wajah belia yang telah menjadi seorang ibu bertebaran di hadapan saya? Â
Rupanya, fenomena ini tak hanya terjadi di dusun Batu Jong. Mbak Leya, juga Zicko menuturkan inilah yang terjadi di Lombok Timur secara umum. Menikah di usia anak anak tanpa legalitas, tak ada surat nikah, syah secara agama tapi tidak diakui negara.Â
Membuat lemah posisi perempuan sebetulnya, tapi apa daya? Tradisi ini telah membudaya. Kemiskinan baik kondisi ekonomi dalam arti miskin harta maupun pendidikan membuat mereka kurang punya keberanian melakukan perubahan. Â
Miskin secara ekonomi telah mayoritas mereka alami. Lahan tadah hujan, tak ada ketrampilan atau life skill khusus membuat mereka mempunyai ketergantungan yang besar pada alam. Ini memprihatinkan.
Belum lagi miskin pula pengetahuan, masih ada yang buta huruf, pendidikan rendah, tak ada kegiatan menambah ilmu pengetahuan membuat mereka terjebak dalam rutinitas sehari- hari.
Terpenjara dalam kehidupan itu itu saja tanpa stimulus keluar dari kebiasaan. Lalu menjadi TKI atau TKW menjadi gerbang harapan keluar dari masalah. Zona yang sepertinya nyaman mereka alami adalah potret ketidak berdayaan perempuan di mata kami. Â
Saya tidak suka kondisi ini. Apalagi ketika melek huruf dijadikan sebuah jembatan untuk bisa pergi kerja ke luar negeri.
"Ibu, kalau sudah bisa membaca ingin melakukan apa?" tanya salah satu tim ke mereka dalam satu kegiatan kampanye literasi.
"Saya mau ke Malaysia, kerja nyari uang yang banyak." spontan jaaban keluar dari mulut mereka.
Keinginan menjadikan kemampuan membaca, mempunyai pengetahuan, sebagai alat survive dan berjuang untuk kehidupan mereka di lokasi mereka tinggal tidak masuk dalam hitungan. Padahal potensi untuk itu terbuka lebar. Lewat buku, mereka bisa belajar banyak hal.
Keterampilan membuat sesuatu dari bahan di sekitar mereka, menanam tanaman bermanfaat, mempraktikan resep masakan yang bahannya ada di rumah mereka merupakan contoh bacaan yang kami bawa untuk dipelajari.
Terangsang belajar memang, ingin sekolah sore untuk ibu-ibu, itu usul mereka. Namun tujuan sesudah bisa membaca, sesudah mereka mempunyai pengetahuan dan keterampilan itu yang memprihatinkan. Â
Lulus Sekolah Dasar, itu kalau sempat ikut ujian nasional, membuat perempuan di Dusun Batu Jong berada dalam situasi gamang. Melanjutkan sekolah, meskipun gratis butuh biaya transportasi. Secara lokasi yang jauh dari tempat sekolah melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi sulit memungkinkan itu terjadi.Â
Hanya mereka yang punya nyali tinggi yang akan menempuh pendidikan ke luar dusun. Tak ada kendaraan publik, harus punya sendiri bila ingin bersekolah ke ibukota desa yang letaknya di luar dusun, untuk menempuh pendidikan setara SLTP.
Belum lagi perspektif agama yang mereka yakini, bahwa perempuan harus segera menikah. Untuk menghindari fitnah atau karena sudah akil baligh. Ini menimbulkan masalah tersendiri.
Ketidak matangan psikologis dan minimnya pengetahuan tentang hal- hal yang harus dilakukan untuk mengatasi problema pernikahan membuat mereka dalam situasi kawin cerai Mudah menikah mudah pula bercerai. Â
Ironi, satu sisi pernikahan adalah hal sakral yang di dalam agama merupakan hal yang perlu disegerakan, disukai Tuhan. Di sisi lain pernikahan mereka rentan retak, bercerai.
Sesuatu yang dibenci Tuhan. Mudharat dan maslahat sepertinya bukan persoalan yang menjadi alasan ketika memutuskan menggelar pernikahan. Yang penting menikah, itu saja.Â
Tanpa memikirkan tanggung jawab yang harusnya diemban ketika memasuki gerbang itu. Yang disukai Tuhan dan yang dibenci mereka lakukan bersamaan. Tanpa pemikiran panjang. Â
Maka, ketika mereka menjawab " Nggak ada kegiatan ya menikah!"
Untuk satu pertanyaan. "Mengapa menikah di usia muda sekali?"
Ini bisa saya maklumi. Beberepa latar belakang yang telah saya sebutkan mendasari. Mereka seperti tidak punya pilihan untuk mengatasi masalah itu selain menikah. Padahal banyak hal yang bisa dilakukan untuk memberdayakan diri, sebagai perempuan sebelum pernikahan dijadikan solusi keluar dari masalah.Â
Untuk itulah saya ingin lebih lama di daerah tersebut. Bergaul, mempelajari akar masalah, menemukan jalan keluar tepat untuk mereka bisa meningkatkan taraf hidupnya.
Saya gemas, mereka perempuan perkasa di mata saya. Harusnya mereka berada dalam kondisi yang lebih baik dibanding yang mereka alami saat ini. Secara ekonomi, secara kesehatan maupun secara pendidikan. Â
Lewat membaca. Lewat mempelajari buku - buku yang kami bawa. Stimulus tolabul ilmi. Mencari ilmu yang merupakan kewajiban bagi manusia ketika lahir ke dunia hingga menutup mata.
Dengan harapan, tak ada lagi jawaban " Nggak ada kegiatan ya nikah! "
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H