"Ibu, kalau sudah bisa membaca ingin melakukan apa?" tanya salah satu tim ke mereka dalam satu kegiatan kampanye literasi.
"Saya mau ke Malaysia, kerja nyari uang yang banyak." spontan jaaban keluar dari mulut mereka.
Keinginan menjadikan kemampuan membaca, mempunyai pengetahuan, sebagai alat survive dan berjuang untuk kehidupan mereka di lokasi mereka tinggal tidak masuk dalam hitungan. Padahal potensi untuk itu terbuka lebar. Lewat buku, mereka bisa belajar banyak hal.
Keterampilan membuat sesuatu dari bahan di sekitar mereka, menanam tanaman bermanfaat, mempraktikan resep masakan yang bahannya ada di rumah mereka merupakan contoh bacaan yang kami bawa untuk dipelajari.
Terangsang belajar memang, ingin sekolah sore untuk ibu-ibu, itu usul mereka. Namun tujuan sesudah bisa membaca, sesudah mereka mempunyai pengetahuan dan keterampilan itu yang memprihatinkan. Â
Lulus Sekolah Dasar, itu kalau sempat ikut ujian nasional, membuat perempuan di Dusun Batu Jong berada dalam situasi gamang. Melanjutkan sekolah, meskipun gratis butuh biaya transportasi. Secara lokasi yang jauh dari tempat sekolah melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi sulit memungkinkan itu terjadi.Â
Hanya mereka yang punya nyali tinggi yang akan menempuh pendidikan ke luar dusun. Tak ada kendaraan publik, harus punya sendiri bila ingin bersekolah ke ibukota desa yang letaknya di luar dusun, untuk menempuh pendidikan setara SLTP.
Belum lagi perspektif agama yang mereka yakini, bahwa perempuan harus segera menikah. Untuk menghindari fitnah atau karena sudah akil baligh. Ini menimbulkan masalah tersendiri.
Ketidak matangan psikologis dan minimnya pengetahuan tentang hal- hal yang harus dilakukan untuk mengatasi problema pernikahan membuat mereka dalam situasi kawin cerai Mudah menikah mudah pula bercerai. Â
Ironi, satu sisi pernikahan adalah hal sakral yang di dalam agama merupakan hal yang perlu disegerakan, disukai Tuhan. Di sisi lain pernikahan mereka rentan retak, bercerai.
Sesuatu yang dibenci Tuhan. Mudharat dan maslahat sepertinya bukan persoalan yang menjadi alasan ketika memutuskan menggelar pernikahan. Yang penting menikah, itu saja.Â
Tanpa memikirkan tanggung jawab yang harusnya diemban ketika memasuki gerbang itu. Yang disukai Tuhan dan yang dibenci mereka lakukan bersamaan. Tanpa pemikiran panjang. Â