Diberitahu ada lokasi wisata asik dengan menaiki perahu menuju perbatasan antara sungai dan laut selat Madura membuat saya sangat tertarik. Pagi itu saya diberitahu untuk segera datang, senyampang air sungai masih belum surut. Masih mudah dilewati perahu, sebab makin tinggi matahari biasanya air dingin mulai dangkal.
Berangkat dengan rasa penasaran, datang ke rumah ketua BPD desa, Bunda Pipit, dusun Dung Pasar Tambak Rejo yang rumahnya dekat dengan aliran sungai Welang. Disambut ceria, suaminya telah siap menjadi pengantar jalan- jalan akhir pekan susur sungai welang.Â
Tumbuhan pisang di kanan kiri sungai awalnya banyak saya temukan sebelum akhirnya bersua dengan jajaran rimbun pohon bakau. Sejuk mata ini memandang, senangnya, ada rasa sensasi tersendiri memandang hamparan air dan tetumbuhan di hadapan.Â
Belum lagi satwa penghuninya. Burung bangau yang bertengger di dahan bakau, atau yang terlihat berkejaran di angkasa pun yang sedang minum di sungai, menumbuhkan rasa damai di hati ini.Â
Ternyata ada satu lokasi wisata yang sedang menanti di ujung muara sungai Welang ini. Pulau Lusi namanya. Konon merupakan bentukan dari luberan lumpur Lapindo Sidoarjo beberapa tahun lalu. Sebuah pulau yang dihuni oleh sepasang suami istri penjaga saja. Ditugaskan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Perahu bermesin itu ternyata menimbulkan polusi air, kecepatannya mempengaruhi ombak serta kelangsungan budidaya ikan petani tambak setempat dan yang dikeluhkan penjaga adalah masalah pemeliharaan pulau Lusy. Terutama menyangkut kebersihan. Sesuatu yang klise saya temukan di banyak tempat wisata di Indonesia.
Masuk pulau Lusy ini tidak dikenakan retribusi apapun. Karena memang keberadaannya tidak untuk umum. Tetapi tidak melarang orang untuk sekedar datang mampir melihat lihat kondisi di dalam pulau Lusy.Â
Keadaan ini tentu tidak menguntungkan bagi kelestarian lingkungan di pulau tersebut. Kurangnya fasilitas kebersihan semacam tempat sampah atau fasilitas publik seperti keberadaan toilet umum tentu menimbulkan masalah tersendiri. Masyarakat kita masih suka membuang sampah sembarangan dan juga ( maaf ) buang air sembarangan pula.Â
Hal ini diakui oleh sang penjaga pulau. Harapannya ada perhatian dari orang yang datang atau pengelola wisata yang memanfaatkan pulau Lusy sebagai destinasi wisata. Paling tidak memberi bantuan tempat sampah atau Finansial untuk merawat fasilitas itu.
Dalam pandangan saya harapan penjaga itu tidaklah muluk. Tak ada karcis, tanpa retribusi hanya menjaga dan memberikan izin saja. Apa susahnya pemanfaat wisata memberikan sesuatu untuk menjaga pulau Lusy ini? Toh untuk dimanfaatkan banyak orang, kita juga. Agar lestari keberadaan ekosistemnya, juga terjaga dari kerusakan, bersih dan selalu nyaman dikunjungi.Â
Ada pula yang mulai mencuci kupang di pinggir sungai. Seru, pemandangan langka yang baru pertama kali saya temui. Inspirasi segar untuk saya tulis dalam buku. Bahwa menyusuri sungai, menyaksikan kegiatan kehidupan masyarakat sekitar sungai sungguh menarik untuk dinikmati, dicermati.
Anis Hidayatie, Sumpil 28/10/2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H