Ojin (bagian 4)
Disetujui, untuk kepulangan tanggal 25 Agustus ke Indonesia. Email dari konsulat kubaca berulang. Buncah bahagia menggunung di dada. Segera kusentuh pesan tiket online klik tanggal 25, transfer pembayaran, 8 jutaan kalau dirupiahkan. Sukses. Aku bisa pulang besok.
Badanku sepertinya telah sembuh benar, maka sore itu aku minta dokter segera mengeluarkanku dari rumah sakit ini. Kembali ke kamar apartemen dengan sedikit rasa dongkol memenuhi kepala. Sebel betul aku dengan jumlah biayanya. Gila, sekitar 43 juta rupiah harus kubayarkan. Asuransi belum bisa mengkover, kuajukan klaim. Tapi aku tidak tahu apakah segera cair atau tidak. Hanya harapan, semoga bisa keluar, mengganti biaya yang sudah kukeluarkan.
It's okay, yang penting bisa segera pulang ke Indonesia, bertemu ibu, bertemu Ann. Wajah itu, padahal sekalipun aku tidak pernah bertemu. Membayang di pelupuk mata selalu. Tidak cantik, sedikit manis bila tersenyum. Seperti ada jutek tergurat di mukanya, tapi aku tak peduli. Aku datang ke Indonesia untuknya, membuktikan aku serius ingin meminangnya.
Malam itu adalah malam terakhir di apartemen yang telah kutempati selama beberapa bulan di Kansen, Osaka, Jepang. Pakaian kukemas, buku- buku, berkas, laptop, semua sudah kupacking, tinggal mengangkutnya esok hari. Menuju bandara Seiko Internasional. Akan take off jam 3 sore waktu Jepang.
Masih pukul 8 malam, teringat Bimbim, sahabat dekatku sekantor yang telah merupa saudaraku di negeri matahari terbit ini. Maka kuambil gawai, aku telepon dia.
" Bim, besok aku akan pulang ke Indonesia, bisakah kita habiskan malam ini bersama?"
" Ojin! Are you serious?" Suara kagetnya memekik di telinga.
" Yes, like I've told you yesterday."
" Baiklah, tunggu sebentar sekitar 15 menit aku akan datang."
" Waw, sudah siap back to Indonesia rupanya kau Ojin."