Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ojin (Bagian 2)

23 Agustus 2019   06:25 Diperbarui: 23 Agustus 2019   07:11 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perbedaan waktu antara Osaka dan Pasuruan kadang membuat aku lupa ada selisih waktu yang harus diperhatikan untuk berkomunikasi dengan Ann. 3 jam an, itu yang sedang berusaha kutandai agar aku bisa menghubungi Ann di waktu yang tepat. 

Tidak seperti kemarin, aku mendengar suara berat darinya, bahkan tak ada suara lagi kudengar , hanya irama nafas saja. Rupanya dia tertidur ketika aku berbicara panjang kali lebar kali tinggi di gawai yang menghubungkan kami. 

Kecewa tentu saja, tapi ketika kulihat jam digital di gawai yang menunjuk pukul 3 dinihari waktu Osaka, aku mengerti. Di kediamannya perkiraan waktu adalah jam 12 malam. Waktu tengah malam, saat banyak mata lelap, dibuai mimpi.

Rasa ingin selalu bersama itulah yang mendorongku ingin selalu menghubunginya, maka kulakukan itu tak mengenal waktu. Aku menghubunginya di setiap pergantian jam. 

Kalau dia angkat telepon dan mengabarkan keadaannya, cukuplah bagiku itu. Namun kalau dia tak mengangkat atau tak ada kabar, aku seperti orang kebingungan, what happened with her. Seperti hari itu, hari pertama sesudah dia pamitan untuk menulis berita. 

Karena tak menjawab panggilanku pun membalas sapaan. Berondongan chat kukirim padanya.

" Ya Tuhan ada apa?  Ini ya dietelpon kok gak  bisa?"

" Semoga tidak ada sesuatu di jalan"

" Tolong kabari aku."

" Kamu kenapa sih? kmu marah  ya ama aku."

" Jangan bikin aku tambah bingung di sini."

Chat itu baru berhenti kukirim sesudah dia memberikan jawaban. " Maafkan, gawaiku semalam drop, langsung kucas dan baru kubuka sekarang."

Kulihat lagi waktu di Indonesia, pukul 7.30, waktu dia akan mulai bekerja. Kuyakin hari ini dia pasti akan sibuk sangat. 17 Agustus, banyak upacara, banyak kegiatan mengiringinya, meliput peristiwa adalah keniscayaan. Tak berani aku mengganggunya, cukup emo senyum saja lalu dia membalas emo pula. Itu sudah membuatku lega.

Akupun sibuk berkegiatan Agustusan. Sebagai warga negara Indonesia rasanya kurang afdhol kalau aku tidak ikut terlibat. Maka bergegas aku ke KBRI, naik kereta api, dari Osaka menuju Kansen. Lumayan makan waktu lama sih, sekitar satu setengah jam. Tapi tak apa, demi suasana Indonesia aku rela.

Betul dugaanku, kemeriahan ala Indonesia tergambar nyata. Selain upacara tentu saja, ada rangkaian lomba seru yang mengingatkanku dengan kampung halaman. Lomba makan kerupuk, tarik tambang, Gigit sendok dengan kelereng, diadakan panitia di sana. Pesertanya orang Indonesia juga yang tinggal di Jepang.

" Hai Ojin !" Sebuah teriakan memanggil namaku mengagetkan.

" Hai ! Kamu Saka?" 

" Iya, aku teman kau waktu kita sama sama ikut kelas menulis Kanji di Hiroshima dahulu."

Saka, temanku, 3 tahun yang lalu kami akrab, sebelum akhirnya sebuah sertifikat tanda lulus mengakhiri kedekatan. Dia melanjutkan studi S2nya, sedangkan aku kembali bertualang di dunia pariwisata. 

Satu pekerjaan yang melupakan aku dari keinginan mempunyai pendamping. Kerja lembur, jalan-jalan, pesta, telah menjadi semacam rutinitas tak terelakkan. 

Sebuah tangan mungil diulurkan padaku," Hai paman Ojin."

" Oh hai, siapa namamu?" Kujawab ceria bercampur kaget, sambil mengubah posisi, menjadi jongkok, mengikuti ketinggian bocah lelaki di hadapanku.

" Namaku Putra Garuda."

Sungguh aku suka sekali, menatap wajahnya, menggemaskan, sekilas ada mata Saka lekat di wajahnya.

" Anakku dia, itu ibunya." Saka menjawab sambil telunjuknya mengarah pada seorang wanita berhijab yang sedang sibuk berbincang dengan seorang wanita lain di booth Bakso Indonesia.

" Waw, amazing, kau sudah menikah dan punya anak?"

" Iya, kau ingat Ira kan? Asal Bandung, teman kita juga."

" Ah ya, tentu. Dia yang sering kau bawakan laptopnya itu kan?"

" Betul, dia adalah ibu anakku, Putra Garuda, dia lahir di Hiroshima 2 tahun yang lalu. Kami menikah lepas kita berpisah."

" Oh ya, kenapa tak berkabar?"

" Hahaha, semua terjadi begitu saja. Akupun tak menyangka akan secepat itu. Lagian, sst, sebetulnya ini akal akalanku saja. Supaya dapat sewa kamar untuk berdua dengan harga murah sekaligus modus biar dia mau menikah denganku, hehe."

" Hahaha, pinter juga kau, hebat kawan."
Kukatakan itu sambil memeluk pundaknya. Ada kerinduan terhadap masa di kelas dulu bersama Saka.

" Kau sendiri Ojin? Mana istrimu?"


Waduh, pertanyaan ini membuat aku kelimpungan, jangankan istri, pacar saja aku tak punya. 

Selintas bayangan Ann berkelebat, aku ingin benar dia yang akan kukenalkan pada Saka, tapi apa daya, kata jadian saja belum ada. Meski begitu hatiku cukup berdesir membayangkan wajahnya. Ada harapan, aku ingin segera pulang ke Indonesia untuk segera meminangnya.


" Aku belum menikah Saka, jadi belum punya istri, sebentar lagi lah. Haha."

" Nunggu apa sih kau ini Ojin?"

" Nunggu seseorang." Jawabku mantap mengakhiri percakapan dengan Saka, sebelum akhirnya aku harus kembali berbaur dengan masyarakat Indonesia lain yang akan ikut lomba-lomba tujuh belasan.

***
Pukul 4 sore waktu Kansen, beberapa lomba telah usai digelar, sudah diumumkan pemenang lombanya, tapi hadiah belum dibagikan. Nanti, akan diserahkan bersamaan dengan gebyar seni hari merdeka yang rencananya akan digelar tanggal 28 Agustus ini di gedung KBRI. 

Bergegas pulang, sesudah berpamitan dengan beberapa orang kawan. Tak ingin melanjutkan bercengkrama dengan mereka. Wajah Ann terus menggoda, aku ingin segera pulang, berdiam di kamar apartemen dan menghubungi Ann. Video Call seperti biasa.

Laju kereta api dari Kansen menuju Osaka terbilang cepat sebetulnya, namun menurutku lebih lambat kali ini. Raut muka Ann, udara Indonesia, hangat Pasuruan, ingin segera kunikmati segera. 

Maka di perjalanan kereta api antara Kansen dan Osaka kutuliskan e mail ke konsulat, mengajukan percepatan jadwal pulang ke Indonesia. Dari agenda semula tanggal 10 September, aku minta tanggal 25 Agustus ini sudah diperbolehkan pulang ke Indonesia.

Stasiun Osaka menyambutku ramah, segera menuju apartemenku menggunakan angkutan publik. Tak sabar kubuka gawai. Melemparkan diri di atas spring bed, sambil menyentuh bar WhatsApp, Video call. Tidak diangkat, malah dimatikan. Kecewa tentu saja, namun terhibur ketika notifikasi telpon berbunyi, menunjukkan dari Ann.

" Maaf, aku sedang tidak berhijab, baru sampai di rumah setelah seharian keliling kota, gerah."

" Memang kalau tidak berhijab kenapa?"

" Lho kan rule nya tidak boleh  Ojin. Perempuan  hanya boleh membuka aurat, termasuk hijab di depan mahram saja, itulah aturan agama kita."

" Mahram itu apa honey?" Duh, aku keceplosan berkata honey, sayang, semoga Ann tidak marah pun.

"Ish, kok honey sih. Panggil Ann saja ya, atau Mbak. Jadi begini, mahram itu orang yang boleh melihat beberapa diantara aurat perempuan yang harus ditutupi. Seperti saudara, ayah, ibu, kakek, nenek."

" Owh begitu, kalau orang lain yang melihat bagaimana? Seperti aku melihatmu."

" Tentu tidak boleh dong? Kau bukan apa apaku kan?"

"Trus, supaya boleh bagaimana?"

" Ya tetap tidak boleh, haram hukumnya melihat aurat yang bukan mahram."

" Kalau begitu kuhalalkan ya?"

" Eh, eh, kok halal?"  Suara Ann, terlihat mulai gagap menjawab tawaranku.

" Iya, sebentar lagi aku akan pulang ke Indonesia, aku akan ke rumahmu, menemui orang tuamu,  menghalalkanmu untukku."

" Aduh, kok ke sana sana halalnya?"

" Ya, aku serius Ann, Biarkan aku menikahimu." Aku sendiri heran dengan kelancaranku berucap. Padahal tidak pernah kuucapkan ini untuk wanita manapun.

Sejenak senyap, hanya kudapati helaan napasnya, hingga kudengar dia berbicara," Maafkan aku Ojin. Berikan aku waktu berpikir. Bukan aku tidak mau, tapi aku harus berterus terang tentang diriku. Kita belum saling mengenal bukan?"

" Baiklah honey, aku usahakan tanggal 25 ini aku akan pulang ke Indonesia, jemput aku di Juanda ya, nanti kita bicarakan banyak hal di sana. Tentangmu, tentangku, tentang kita."

" Ih, honey lagi. Iya iya, tapi aku tidak janji ya, semoga tugas meliputku tidak padat."

Say goodbye dan good luck, mengakhiri perbincangan itu. Dengan satu keinginan besar, segera tiba hari Minggu, tanggal 25 Agustus. Waktu yang kuinginkan pulang. Ah, semoga dikabulkan oleh Konsulat pengajuan yang kukirim via email tadi.

Anis Hidayatie/Ojin (doc.pri )
Anis Hidayatie/Ojin (doc.pri )
( Bersambung )

Sumpil - Blimbing, Malang. 23/8/2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun