Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Melawan Perasaan

14 Juni 2019   09:31 Diperbarui: 14 Juni 2019   11:00 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dahulu, sekira satu semester yang lalu, lelaki muda itu menarikku masuk ke dalam pusaran melenakan diri. Digulung rasa entah yang melupakan identitas diri, kuikuti saja tawar kedekatannya.

Mengabaikan keharusan menjaga gelar bahwa aku adalah perempuan baik-baik yang tak seharusnya menerima keakraban selain pertemanan. 

Dia tetiba merasuki imajinasi, menghancurkan logika berpikir seorang wanita hampir senja yang harusnya melewatkan masa sendiri saja. Tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba hadirnya,  lelaki muda dengan tubuh menjulang tinggi dan tatap mata tajam itu kurindukan.

Kupanggil adek karena usianya yang pantas untuk itu, tetapi syarat yang diajukannya   begitu menggelikan. " Boleh panggil adek asal dengan satu syarat, kakak mengizinkan adek ini memilikimu seutuhnya. Kita halalkan hubungan ini."

Sungguh, ini mengagetkan, tak tahu rupa sesungguhnya, tak kenal latar belakang juga. Mengapa tetiba ada penawaran begitu? Mestinya aku marah karena sikap kurang ajar itu. 

Namun keyakinan bahwa dia bersungguh-sungguh membuatku hilang marah. Yang ada rasa hangat yang kutak tahu ini apa. Berbunga, bercengkerama dengannya menjadi sesuatu yang istimewa.

Halal, satu kata yang perlu pembuktian, bukan hanya omongan dan janji semata. Aku terlena, tak waspada, ini bisa jadi rayuan semata. Lelaki, punya seribu cara mendapatkan tubuh wanita. Meskipun seolah cinta menjadi satu-satunya alasan melakukan pendekatan.

" Kan kuhalalkan hubungan kita. Menikah. Segera, kau mau kan?"

" Sungguhkah penawaranmu itu? Apa sudah kau pikirkan masak-masak? Aku lebih pantas menjadi kakakmu, bukan istrimu."


Tersipu, seperti menolak tapi setuju.

Belum tahu betul aku siapa dirinya. Latar belakangnya. Perasaan berbunga ini menguasai. Hingga terjadilah hal yang seharusnya kuhindari. Sebagai wanita bermartabat pun terhormat.

Malam itu menjadi malam jahanam yang melenakan. Gelora hasrat kami terasa memenuhi sekujur pori- pori , aku terbakar. Perlahan dia berhasil membuka satu persatu rahasia diri yang harusnya kututupi. Bisikan, dengus nafas, lebur dalam satu gejolak keinginan. Sungguh ingin kuhela menjauh, tetapi seperti ditarik gelombang, dahsyatnya makin kuat.

Berkeringat, berusaha kulepas, namun pesonanya begitu kuat. Tertambat, sesaat lupa ada di mana, kucecapi sepenuh nikmat. Hingga satu panggilan menyadarkan. "Ma!"

Ah, suara bungsuku memanggil rupanya. Kubuka mata, tersadar bahwa perasaan ini adalah larangan. Maka sebisa mungkin kuabaikan. 

Hubungan rasa yang bermula  dari chat, suara dan video call ini telah melebar tak terbendung. Tak baik tentu saja, apalagi bila sulungku tahu, image buruk terhadap pribadi Mamanya yang suci akan ternodai.

Aku baru tahu dia milik orang, setelah menelusuri seluruh profil di laman medsosnya. Bertanya pada mereka yang mengaku sahabatnya. Rasa bersalah ini tetiba menyergap. 

Malam itu rasaku tlah telah kubiarkan dia curi dari orang yang seharusnya  lebih berhak memiliki. Maka ini harus dihentikan. Tak boleh diteruskan.

Ramadhan kemarin membuka kesadaran. Ada tanggung jawab kelak yang harus kulakukan atas perbuatan mata, telinga dan mulut ini. Zina mata, zina suara, zina kata-kata. 

Meski tak sekalipun terjadi persentuhan kulit tubuh. Namun, bila hati menginginkan milik orang, lalu berhubungan batin dengan yang bukan mahram, apalagi ditingkahi desah suara dan pandangan mengundang nafsu, ini dosa pula. Mendekati zina.

Tak kusentuh namanya beberapa hari,  meski chat datang bertubi . Blokir pun. Namun, itu tak membuatnya berhenti menghubungi. Dengan nomor lain dia menelpon. Kupikir dari orang penting, ternyata dirinya. Tak berkutik. Kuputuskan menghadapi.

" Kau marah? " tanyanya siang itu melalu telepon yang selalu menemani kemanapun aku pergi. Saat menghabiskan istirahat siang untuk shalat dhuhur, di perusahaan tempatku bekerja.

" Ya, aku marah karena adek tak berterus terang bahwa sudah punya istri dan anak pun."

" Oh itu, lalu apa salahnya? Aku akan menjadikan kau istri kedua, tak mengapa bukan?" Tenang dia menjawab.

Ini membuatku gusar. Kalau kepada istrinya dia bisa melakukan, berarti kepadaku, kelak dia pun akan lakukan hal yang sama. Ketika dia menemukan lagi yang lain. Rasa empati keperempuananku menyeruak. Tak ada lagi berharap ingin dia miliki.

Kutegaskan  padanya. " Maaf, aku ingin berteman saja, menjadi perempuan sunyi. Tak ada niat menikah lagi. Tak pula hendak berhubungan dengan lelaki manapun.  Tanpa mesra yang mendekati zina. Aku sedang melakukan pertobatan untuk itu. Bantu aku. Biar kujalani hidupku dengan puasa melakukan hal yang mendekati zina. Dengan siapa pun!"

Tawanya meledak, seolah mencemooh keputusanku " Apa kau yakin bisa lepas dari perasaan?"

" Kan kulawan perasaan itu. Dengan membaca kalam Tuhan tanpa bosan, yang memerintahkan untuk tak mendekati zina, yang menunjukkan bahwa setan akan selalu melancarkan godaan, pada hambanya yang ingin bertobat. Kau adalah setan itu. Aku berlindung kepada Allah untuk tak tergoda lagi padamu. Dia yang akan mencabut perasaan ini. Untuk tak lagi menghinggapi hati."

Sepertinya penjelasanku itu cukup menohok jantungnya. Seketika lelaki muda yang kupanggil adek itu menjawab.

" Baiklah, kalau itu maumu. Kita lihat apakah kau bisa berlari jauh dariku. Tak kan kulakukan apa-apa. Selamat tinggal kekasih, aku selalu menanti kau kembali."

Kalimat akhirnya terdengar seperti tantangan, ingin kubuktikan, tak ingin lagi kembali padanya. Godaan selalu ada, butuh usaha  keras melewati itu  semua. Melawan perasaan dengan terengah kulakukan. Mengalihkan waktu untuk lebih banyak bercengkrama dengan Tuhan. Melantunkan ayat-ayatNya, menyuguhkan tangisan penyesalan. Tumbuh nikmat luar biasa.

 Seringkali tirta bening ini membasahi lembar demi lembar halaman ketika sampai pada ayat yang menunjukkan betapa manusia akan selalu digoda setan sepanjang hidupnya. Maka hanya menyebut namaNya tempat berlindung dari godaan setan yang terkutuk itu.

" Bimbing aku Ya Allah. Lindungi selalu diri ini." Itu yang selalu terucap saat mengakhiri bacaan, untuk nanti kembali membaca lagi. Damai, tak gelisah lagi hati ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun