Quo Vadis Literasi Indonesia
Bila Berita itu benar, bila tak salah mata ini mengeja baca tentang pemusnahan tulisan  tesis dan disertasi di Pusat Dokumentasi dan Informasi Ilmiah (PDII) LIPI maka ini adalah kedukaan bagi dunia literasi Indonesia.Â
"Rencana mau atau akan didigitalisasi, tapi digitalisasi belum dilakukan namun dua truk buku, disertasi dan tesis sudah dikiloin dan dimusnahkan," begitu  Syamsudin  Haris Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan,  sebagaimana dilansir  CNNIndonesia.com, Senin (11/3).
Lebih lanjut Haris mengatakan, alasan itu semua adalah bagian dari kebijakan reorganisasi karyawan yang dilakukan kepala LIPI Laksana Handoko.Â
Dalam hal ini Haris bersama sejumlah peneliti lainnya sempat mengadu ke DPR karena tidak setuju dengan kebijakan reorganisasi tersebut.Â
Hal serupa dikatakan Peneliti politik senior LIPI Asvi Warman Adam . Dia membetulkan bahwa tesis dan disertasi di PDII telah dihilangkan.Â
Ada 30 ribu tesis dan disertasi yang hilang dari perpustakaan PDII. Meski demikian Asvi belum bisa memastikan karya-karya itu dimusnahkan seperti dikatakan Haris.
"Jumlahnya 30 ribu. Berdasarkan informasi yang saya terima, penghilangan itu terjadi pada 9 dan 10 Februari atau akhir pekan. Jadi pas enggak ada orang," ucap Asvi.
Sejarawan itu menduga ruangan perpustakaan PDII tempat penyimpanan tesis dan disertasi akan digunakan sebagai ruang baru karyawan yang terkena reorganisasi. Karenanya tesis dan disertasi yang dikorbankan.
"Ini bagian dari dampak, karena reorganisasi itu kan membutuhkan ruang baru untuk pegawai administrasi yang direorganisasi," ucap Asvi.
Dengan alasan apapun menurut saya tidak selayaknya karya karya tersebut dihilangkan, apalagi yang melakukan adalah lembaga sekelas LIPI yang kehadirannya digadang gadang mampu menggaungkan iklim Pengetahuan Indonesia, bukan hanya penelitiannya saja namun juga pendokumentasiannya.
Baiklah, akan digitalisasi, tapi apa itu bisa menggantikan posisi karya tulus by paper itu?Â
Terus terang saya masih suka memegang lembar ketimbang harus memandang layar untuk membaca karya tulis. Lembar halaman tidak rentan gangguan digital seperti virus dan peretasan, musuh utama cuma rayap dan tangan tangan jahil yang kadang dengan sadis melakukan perobekan.
Jenghis Khan telah menghitamkan sungai Tigris dengan pemusnahan buku- buku ilmuwan peradaban masa lalu yang ditenggelamkan di sungai itu, dengan alasan ketakutan bahwa buku-buku tersebut dapat mempengaruhi pemikiran untuk melawan kekuasaan penjajahannya. Kini di Indonesia hasil karya dihilangkan demi sebuah tempat yang belum tentu harus digunakan. Tidakkah terpikirkan cara lain? Yang tidak mengharuskan penghilangan karya?
Harap saya ada yang bertanggung jawab, kalaulah karya itu belum hilang betul tolong dikembalikan. Untuk lembaga sehebat LIPI hemat saya hendaknya diisi oleh orang yang benar benar concern terhadap pengetahuan, termasuk menjadi penjaga, pendorong literasi Indonesia. Bukan malah menjadi ' jagal' karya. Untuk ini saya sampaikan Quo Vadis Literasi Indonesia. Ada duka dan air mata untuk penghilangan karya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H