Baiklah, akan digitalisasi, tapi apa itu bisa menggantikan posisi karya tulus by paper itu?Â
Terus terang saya masih suka memegang lembar ketimbang harus memandang layar untuk membaca karya tulis. Lembar halaman tidak rentan gangguan digital seperti virus dan peretasan, musuh utama cuma rayap dan tangan tangan jahil yang kadang dengan sadis melakukan perobekan.
Jenghis Khan telah menghitamkan sungai Tigris dengan pemusnahan buku- buku ilmuwan peradaban masa lalu yang ditenggelamkan di sungai itu, dengan alasan ketakutan bahwa buku-buku tersebut dapat mempengaruhi pemikiran untuk melawan kekuasaan penjajahannya. Kini di Indonesia hasil karya dihilangkan demi sebuah tempat yang belum tentu harus digunakan. Tidakkah terpikirkan cara lain? Yang tidak mengharuskan penghilangan karya?
Harap saya ada yang bertanggung jawab, kalaulah karya itu belum hilang betul tolong dikembalikan. Untuk lembaga sehebat LIPI hemat saya hendaknya diisi oleh orang yang benar benar concern terhadap pengetahuan, termasuk menjadi penjaga, pendorong literasi Indonesia. Bukan malah menjadi ' jagal' karya. Untuk ini saya sampaikan Quo Vadis Literasi Indonesia. Ada duka dan air mata untuk penghilangan karya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H