Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menggugat Nikmat

23 Januari 2019   17:28 Diperbarui: 23 Januari 2019   17:46 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


Saya ingin berbagi cerita tentang desa masa kecil. Desa yang menyimpan sejuta kenangan indah bersama Almarhum Embah teman saya, Mbak Novie --Novelis asal Surabaya-- dan teman-teman masa lalunya di Desa Keongan, Semarang. Sebagai Oleh - oleh cerita usai menggelar workshop menulis dan launching buku di UDINUS bulan November 2018 silam.

Secara garis besar masih sama seperti yang teman saya mbak Novie, ingat saat kecil. Ketika turun dari bis di Terminal Bawen yang sudah kece banget, butuh waktu sekitar 20 menit berjalan kaki masuk ke dalam sebuah jalan masuk desa yang melegenda.

Bintangan. Ada banyak kisah mistis di sepanjang jalan bernama Bintangan, beberapa ratus meter panjangnya sebelum masuk ke desa Keongan. Di samping kanan-kiri terdapat ladang dan sawah terhampar luas. Cericit burung terbang mencari makan. Jeritan serangga memekakkan telinga. Di jalan selebar 3 meteran ini, cerita yang menghantui masa kecil terngiang.

Legenda setan usil yang bernama gundul pringis mengintai para warga yang tengah malam melintas. Hantu kepala yang terbahak-bahak mengejek penduduk apes yang kebetulan melibas sekat astral. Meskipun matahari masih gagah, melintasi jalan ini menyisakan merinding pada tengkuk.

Desa keongan tepat di penghujung jalan Bintangan. Semua rumah sudah terlihat bagus berdinding bata. Kecuali rumah peninggalan almarhum Embah yang sekarang ditempati paman. Rumah beratap semi Joglo ini masih sama seperti dulu saat pertama kali dibangun. Beratap genting, berdinding kayu jati dan berlantai semen.

Paman mbak Novie menyambut dengan pelukan hangat. Mereka melepas rindu sambil menikmati segelas teh panas. Ah, nikmat sekali. Apalagi suasana dalam rumah belum ada yang berubah. Meja dan kursi kayu menyambut. Ranjang bambu ukuran 3x3 meter masih terletak di bawah jendela. Tempat Mbak  Novie belajar berjalan dahulu kala.

Tak terasa mata Mbak Novie berkaca-kaca. Kehidupan pamannya yang menduda setelah ditinggalkan almarhum istrinya 20 tahun lalu masih sangat sederhana. Pekerjaannya sebagai penjual asongan di terminal Bawen hanya cukup untuk menghidupi kedua anaknya.

Pagi ini terasa sangat gigil. Mbak Novie sengaja menginap sehari di rumah Pamannya. Mbak Novie dan anaknya yang biasa dipanggil Agha, tidur di atas kasur tipis di kamar penuh asa. Kamar ketika dia dulu dilahirkan. Kamar berdinding kayu yang sudah dimakan usia. Udara dingin menerobos ganas, membuat tulang-tulang ini terasa ngilu. Alhamdulillah Adik Agha pintar. Ia tertidur lelap semalaman.

Paman sangat mirip dengan Bapak Mbak Novie. Adik Agha memanggil Paman dengan sebutan Mbah No. Padahal nama Paman adalah Min. Ah, terserah Adik Agha mau memanggil apa. Yang penting dia suka dan krasan.

Paman membuat perapian di pawon, di atas tungku satu lubang yang terbuat dari batu bata di susun. Lelaki berambut gondrong itu dengan tangkas mulai membuat perapian. Mencoba mengusir dingin dengan menghangatkan diri dekat perapian sembari menunggu air mendidih. Paman menyiapkan teh hangat buat saya dan Adik Agha. Saat Mbak Novie mau membantu nggak boleh. Paman khawatir akan batuk terkena asap tungku.

Ketika matahari sudah menguapkan embun, Adik Agha berburu belalang bersama Mbah No, paman. Mereka asyik menangkap binatang peloncat hebat itu di rerumputan depan rumah. Mereka berhasil menangkap dua ekor belalang dan dimasukkan ke dalam plastik bening. Rona ceria tersirat dari wajah Adik Agha. Dia sangat menikmati kebersamaaan dengan Mbah Nonya.

Kondisi ini membuat Mbak Novie merasa tertampar. Kenikmatan yang selama ini  terkadang terasa kurang, digugat. Ya, Kamar ber-AC, keluarga yang masih lengkap, anak-anak yang ganteng dan pintar, suami yang sabar dan penyayang, kadang itu tertutup keluhan, belum punya mobil, belum punya rumah mewah,  belum punya kelebihan uang untuk jalan jalan, shopping, cuci mata ke pusat pusat perbelanjaan.

 Ah, manusia memang tempatnya nafsu angkara. Melihat dan merasakan kehidupan Paman di sini, membuat Mbak Novie sangat bersyukur dengan semua yang dilimpahkan. Kesederhanaan yang menurut kebanyakan orang termasuk saya "kekurangan",  tak membuat Sang Paman merana, justru membuatnya arif dan bijaksana dalam menyikapi kehidupan.

Dia melalui hidupnya tanpa keluhan, hidupnya bergelimang sukur. Ini menumbuhkan malu yang sangat. Mbak Novie tertampar, secara jarang bibirnya berucap Alhamdulillah, untuk segala yang telah dia punya. Masihkah dia pantas berbangga dengan kelebihan? Padahal dia yang kita sangka hidupnya kekurangan, penuh dengan tatapan kebahagiaan.

Desa Keongan, Semarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun