Mohon tunggu...
Anis Contess
Anis Contess Mohon Tunggu... Guru - Penulis, guru

aniesday18@gmail.com. Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata. Mari tebar cinta dengan kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Yang Kedua (Bagian 1)

20 Januari 2019   06:21 Diperbarui: 23 Januari 2019   12:23 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata orang jadi istri muda itu menyenangkan, bergelimang perhatian dan kasih sayang. Karena lebih memikat di mata suaminya. Aku belum membuktikan, secara masih gamang aku mengiyakan ajakan menikah lelaki yang baru kuakrabi sejak beberapa bulan lalu. Bagiku itu masalah besar, rasanya seperti telah melakukan pencurian. Meski katanya izin menikah lagi telah dikantongi dari istri sahnya.

Aku memanggilnya Kak Rob, pria paruh baya yang tidak terlalu kaya sebetulnya,  tapi cukup dermawan untukku. Telah menjadi kebiasaan, sarapan bersama sebelum berangkat kerja kami lakukan. Dia selalu menjemputku pagi sekali sebelum berangkat bekerja dan mengajak sarapan di warung makan langganan yang buka 24 jam.

Kak Rob  rajin menemani hidupku sejak pertemuan tak sengaja di acara resepsi  pernikahan anak  temanku kuliah dahulu. Perbincangan awal yang menyenangkan, dia kakak tingkat aku waktu kuliah, yang melonco waktu mahasiswa baru dulu. Kupikir dia telah melupakanku, ternyata dia masih ingat, ini luar biasa, 15 tahun itu bukan waktu yang pendek untuk mengingat seseorang.

"Hai, kamu Daya kan?" Sapanya waktu itu mengagetkanku.

"Emh, iya anda siapa ya ? " Selidikku bertanya, sembari menatap lekat wajahnya berusaha mengingat kembali. Tatapan mata teduh,  kulit  sedikit coklat, jangkung, rahang tegas, ada warna putih di rambutnya. Tidak tampan seperti Sandiaga Uno sih tapi sangat menawan untuk dijadikan bahan tatapan. Sekilas aku ingat politikus yang jadi Gubernur Jateng mengingatnya. Ya, penampakannya seperti Ganjar Pranowo.

"Kamu lupa ya? Aku yang menyelamatkanmu waktu pingsan saat Opspek mahasiswa baru. Masih ingat ? Yang menggendong kamu membawa ke ruang kesehatan aku loh?"

" Oh ya? Duh maaf kak aku lupa. Habis beda banget dengan penampilan kakak waktu itu."

" Kenapa? Aku terlihat tua kah? Kubiarkan warna putih di rambutku agar aku terlihat matang." Kelakarnya sok dekat.

Perbincangan awal itu menjadi gerbang kehangatan kami kemudian. Tak ada jeda dia menanyakan kabar, sedang apa? sudah makan? atau kamu baik baik saja? Bila chat WA atau video call nya tak segera kubalas.

Aku tahu dia telah beristri makanya aku tak berani terlalu menanggapi chatnya. Kujawab seperlunya dengan singkat tiap pertanyaannya, dengan beberapa huruf saja malah seperti sdh, blm, y. Atau kalau sedang malas ngetik cukup emo kuberikan padanya.

Satu bulan yang lalu, tepatnya saat ban sepeda motorku bocor menjadi awal rutinitas antar jemputnya. Pulang dari kantor notaris tempatku bekerja dia datang menjemputku. Cerdik dia,  memakai jaket dan helm hijau gojek. Dia datang membawa seorang laki-laki yang dimintanya membawa motorku.

Aku bonceng Kak Rob, sementara teman lelakinya menuntun sepeda motorku.

"Biar ditambalkan, adek ikut kakak saja ya, kuantar pulang. Nanti sepeda motor mu akan diantar dia ke rumahmu. Oke?"
Seperti kerbau dicocok hidungnya aku mengikuti saja perintahnya.

"Kita makan  dulu yuk." Tawarnya.

"Trus nanti kalau sepeda motorku kelar bagaimana? Rumahku tutupan kak, tak ada orang di rumah, kakak lupa ya?  Di rumah kan tak ada siapa siapa. Anakku kuliah nun jauh di luar kota, kost di sana pula."

"Taklah, bagaimana mungkin aku melupakan, setiap kisahmu, kucatat lekat di otakku, makanya tadi aku bawa tukang ojeg kenalan. Biar dia urus semua. Kalau sepeda motormu sudah selesai ditambal dan kau belum pulang, dia bisa menunggu di tempat yang dia suka, lumayan loh, ada job buat dia, hehe."

Tak perlu lama, kami telah tiba di warung pancing, tempat orang memancing sekaligus menyantap olahan ikan segar di sana. Kali ini Kak Rob langsung memesan dua porsi lalapan ikan mujaer untuk kami.

"Kesukaanmu kan? Ada sambal dan penyet tempenya loh."

Ah, kedekatan chatting kami beberapa bulan cukup membuatnya tahu beberapa kegemaranku yang antara lain sambal dan tempe itu.

Agak senyap suasana kencan dengan makan pertama kali itu, aku masih kikuk, lebih banyak diam dan mengamati gerak geriknya sampai usai makan. Ditutupnya ritual makan itu dengan minum segelas jeruk hangat dan perkataan.

"Mulai sekarang aku akan menjemputmu tiap pagi sebelum berangkat kerja, kita se arah to? Jangan khawatir aku akan pakai jaket ini dan helm berkaca gelap supaya tidak mencurigakan, kau tunggu saja di tepi jalan raya, begitu ya?"

Tak punya cukup alasan aku menolaknya, ucapannya seolah perintah tak terbantah. Pantaslah kalau dia memegang jabatan Kepala Cabang sebuah perusahaan asing  di tempat kerjanya lebih dari 5 tahun hingga kini. Pesona wibawanya menundukkan mata. Aku tak tahu tiba tiba saja menjadi penurut begitu. Mengangguk sebagai isyarat jawaban "Ya".

Berangkat dan pulang aku bersama Kak Rob, N Max nya menjadi saksi kedekatan kami tiap pagi berangkat dan jelang senja ketika pulang. Warung pancing sampai berbaik hati mengosongkan tempat favorit kami sebelum kami datang.

Tiba tiba saja aku menikmati kedekatan kami. Padahal dia bukan siapa siapa aku, hanya TTM, teman tapi mesra kata sebuah lagu yang pernah dilantunkan Maia Estianty dahulu. Meski harus kuakui ada desir halus tiap memanggilnya "Kak". Tapi itu belum cukup untuk menguatkan hasratku untuk mau menerima pinangannya.

"Aku akan melamarmu minggu depan kalau kau setuju menikah denganku."
Kata-kata itu meluncur lancar dari mulutnya, usai kami menikmati makan siang sambil melihat kolam pemancingan.

"Apa? Kakak mau menikahiku?" Tak percaya aku bertanya padanya.

" Iya. Apa kurang jelas perkataanku tadi?"

Tatapan matanya menghunjam, aku tertunduk tak tahu harus menjawab apa. Dia tak pernah mengungkapkan perasaannya mencintaiku, dia juga tak pernah kurang ajar ingin menyentuh apapun dari bagian tubuhku. 

Dia begitu menjagaku, bahkan salaman saja dia tak melakukan. Karena dia tahu aku tak pernah melakukannya itu dengan lelaki manapun. Aku terperangah mendengar kata-katanya. Apa betul dia punya perasaan mencintaiku?

"Bagaimana? Kau setuju? Kalau iya segera kita mulai persiapannya, istriku sendiri akan ikut melamarmu."

Perkataannya mengagetkan, istrinya? Duh, apa tidak gila dia? Batinku.

"Istri Kakak?" Tanyaku.

"Iya istriku. Dia akan ikut melamarkanmu untukku, aku telah katakan padanya akan menikahimu. Dia setuju, bahkan suka padamu, sepertinya dia tak sabar akan punya adik madu."

"Kok bisa? Apa istri kakak tak marah? Mana ada wanita yang rela punya madu?" Kali ini aku berani menyergahnya dengan pertanyaan.

"Hemm rupanya aku lupa menceritakan sesuatu padamu. Baiklah kesimpulannya saja ya, istriku frigid, sejak operasi kanker rahim beberapa bulan lalu dia tak mau kusentuh. Malah dia yang menyarankan aku untuk menikah lagi."

Ya Tuhan, aku tak tahu harus berkata apapun, kalau kujawab iya berarti aku harus siap menjadi yang ke dua. Padahal aku ingin lelaki itu untukku saja. Entahlah aku tak suka berbagi cinta. Kalau kujawab tidak berarti aku harus siap kehilangan dia. Rasa nyaman yang telah kunikmati beberapa waktu ini harus rela kulepaskan.

Ini tidak seperti dendang lagu riang yang pernah kudengar ternyata. Demi cinta rela dijadikan yang kedua. " Jadikan aku yang kedua, buatlah diriku bahagia." Kalau tak salah seperti itu penggalan baitnya.

"Baiklah, beri aku waktu berpikir ya kak. Aku tidak bisa memutuskan sendiri. Ada anakku yang harus kuajak berunding, bagaimanapun dialah yang terpenting dalam hidupku."

Kak Rob tersenyum mendengar jawabanku. Dia sangat tenang. Tak ada gejolak apapun di raut mukanya. Sepertinya dia yakin aku akan menerimanya, padahal itu hanya alasanku saja menghindar untuk memberikan jawaban.

Dia mengantarku pulang, kali ini sampai di depan pagar. Percaya diri, katanya," Tak lama lagi aku kan resmi memasuki rumah ini."

Duh, dia tak tahu beragam pikiran berkecamuk di kepalaku. Antara menerimanya atau menolak aku belum bisa memutuskan. Baru kali ini aku dihadapkan pada pilihan sulit dalam hidupku.

Ditulis Anis Hidayatie untuk Kompasiana, 20012019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun