"Kok bisa? Apa istri kakak tak marah? Mana ada wanita yang rela punya madu?" Kali ini aku berani menyergahnya dengan pertanyaan.
"Hemm rupanya aku lupa menceritakan sesuatu padamu. Baiklah kesimpulannya saja ya, istriku frigid, sejak operasi kanker rahim beberapa bulan lalu dia tak mau kusentuh. Malah dia yang menyarankan aku untuk menikah lagi."
Ya Tuhan, aku tak tahu harus berkata apapun, kalau kujawab iya berarti aku harus siap menjadi yang ke dua. Padahal aku ingin lelaki itu untukku saja. Entahlah aku tak suka berbagi cinta. Kalau kujawab tidak berarti aku harus siap kehilangan dia. Rasa nyaman yang telah kunikmati beberapa waktu ini harus rela kulepaskan.
Ini tidak seperti dendang lagu riang yang pernah kudengar ternyata. Demi cinta rela dijadikan yang kedua. " Jadikan aku yang kedua, buatlah diriku bahagia." Kalau tak salah seperti itu penggalan baitnya.
"Baiklah, beri aku waktu berpikir ya kak. Aku tidak bisa memutuskan sendiri. Ada anakku yang harus kuajak berunding, bagaimanapun dialah yang terpenting dalam hidupku."
Kak Rob tersenyum mendengar jawabanku. Dia sangat tenang. Tak ada gejolak apapun di raut mukanya. Sepertinya dia yakin aku akan menerimanya, padahal itu hanya alasanku saja menghindar untuk memberikan jawaban.
Dia mengantarku pulang, kali ini sampai di depan pagar. Percaya diri, katanya," Tak lama lagi aku kan resmi memasuki rumah ini."
Duh, dia tak tahu beragam pikiran berkecamuk di kepalaku. Antara menerimanya atau menolak aku belum bisa memutuskan. Baru kali ini aku dihadapkan pada pilihan sulit dalam hidupku.
Ditulis Anis Hidayatie untuk Kompasiana, 20012019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H