Juga untuk masalah ide. Politik memang urusan merebut dan mempertahankan kekuasaan. Toh, ada perbedaan terang-benderang antara mereka yang menjajakan gagasan dan mereka yang cuma pintar memasarkan citra. Golongan kedua niscaya mengklaim juga memiliki ide. Kita tak berbicara soal orisinalitas. Tiada yang baru di bawah matahari, kata kaum bijak bestari. Namun pemeriksaan yang saksama bakal menghasilkan kesimpulan bahwa tak ada kesegaran dalam ide mereka. Andai sekedar reproduksi dari ide terdahulu, minus upaya memperkaya dan menemukan pijakan di kondisi kekinian, kita layak cemas.
Politik Indonesia masa kini memperlihatkan betapa miskin imajinasi-- sebagian besar-- politikus di negeri ini mendemonstrasikan ketidaksanggupan menemukan hal-hal substansial dalam mengelola negara.
Satu contoh, secara eksplisit, pembukaan konstitusi mengamanatkan perlindungan kepada seluruh warga negara tanpa kecuali. Ini adalah janji kemerdekaan kita.
Tapi masih saja ada saudara-saudara kita yang mesti mengungsi bukan karena bencana alam, melainkan lantara diancam pihak-pihak tertentu. Alih-alih mencokok para pengancam, para pengelola negara sibuk berdalih ini dan itu. Lalu saudara-saudara kita itu harus pergi meninggalkan kampung halaman.
***
Sejatinya Agus Salim seorang politikus. Pada 1921, ia menjadi anggota Volksraad. Begitu masuk, ia membuat kejutan: berbicara di forum menggunakan bahasa melayu (Kustiniyati Mochtar, 1984). Padahal anggota-anggota Volksraad yang lain menggunakan bahasa Belanda. Di Volksraad, Salim melancarkan kritik-kritik tajam, terutama perihal ketidakpedulian Belanda terhadap rakyat jajahan.
Tapi ia hanya dua tahun di sana. Bersama beberapa anggota PSII lainnya, Salim mengundurkan diri. Pasalnya, ia merasa kritik-kritiknya tak didengar. Agus Salim pergi dan menyebut kegiatan Volksraad sebagai "komedi omong yang disensor".
Beberapa tahun kemudian, Agus Salim mengusulkan Sarekat Islam mengubah gaya berpolitik. Belanda memperketat pengawasan terhadap kaum pergerakan. Sejumlah regulasi dibuat untuk menjerat orang-orang yang dianggap menyebakan kebencian kepada rezim kolonial. Polisi makin giat memata-matai. Hany karena dicurigai, belum ada bukti, seseorang bisa ditangkap dan disiksa.
Agus Salim lalu menyarankan politik koorperasi. Segera ide ini memantik perdebatan internal. Beberapa kolega menuduh Salim hendak masuk lagi menjadi anggota Volksraad. Intrik dan fitnah merebak. PErpecahan akhirnya tak terhindarkan. Akhirnya Agus Salim dan sejumlah rekan mendirikan Pergerakan PEnyadar dan keluar dari PSII.
Ironis. Beberapa tahun sebelumnya, Agus Salim memimpin aksi pendisiplinan Sarekat Islam. Bersamaan dengannya, organisasi tersebut juga memformulasikan sebuah ideologi untuk menandingi komunisme. Itu adalah oplosan dari ide Pan Islamisme Jamaluddin al-Afghani dan reformisme-modernisme Islam ala Muhammad 'Abduh dengan sosialisme. Agus Salim juga menjadi motor karena bacaannya paling kaya mengenai Islam dan sosialisme.
Intelektualitas Agus Salim yang membuatnya dikelilingi para anak muda: Roem, M. Natsir, Kasman SIngodimedjo, dan Jusuf Wibisono. Mereka adalah aktivis Jong Islamienten Bond (JIB). Agus Salim diplot sebagai guru atau mentor.
Dalam sebuah acara Himpunan Mahasiswa Islam, Natsir mengisahkan satu hal tentang Agus Salim. Ketika sulit memperoleh jalan keluar dari sebuah permasalahan, para pengurus JIB berpaling ke Agus Salim. Di depan orang tua itu, mereka memaparkan permasalahan. Setelah menyimak dengan cermat, giliran Salim berbicara. Panjang-lebar, dari semua aspek. Tapi tak menyinggung soal solusi.