Brilly, ya... Aku mengingat namamu dan bingkai foto itu. Kalung itu juga.
Aku mengingat namamu Brilly.Â
Lagi-lagi aku kembali ke rumah sakit, bertanya pada petugas rumah sakit, perihal alamat rumahmu itu. Setiap pembesuk akan menuliskan nama dan alamatnya.Â
Bukan alamat pembesuk yang kudapatkan, tapi sebuah ruangan perawatan yang ditunjukan.Â
Perlahan aku berjalan. Berat sekali rasanya kaki ini aku langkahkan. Semakin dekat ruangan itu, semakin aku merasa ada yang salah.Â
Aku bertanya pada perawat disana. Apakah ia mengenalmu. Perawat itu menjawab bahwa kamu sudah tiada 2 bulan yang lalu. Ketika itu, kamu mengidap penyakit langka yang tidak bisa disembuhkan.Â
Selama ini, kamu menyembunyikan sesuatu yang sangat besar dariku. Kamu membuatku semangat menghadapi banyak hal, sedangkan kamu sendiri menanggung yang tidak bisa kamu ungkapkan.Â
Bagaimana dengan janjiku padamu tentang tumis kangkung itu? Katakan, katakan padaku apa yang harus aku perbuat dengan semua kenangan kita?
Ya Tuhan, hatiku tersiksa dengan semua ini. Aku mencintaimu, dan aku menyesal tidak pernah mengatakan hal itu padamu.Â
(Tamat)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H