Mohon tunggu...
Ani SH
Ani SH Mohon Tunggu... Ilmuwan - Mahasiswa

A person who wants to be human

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Menjadi Penulis Karya Besar dari Ibnu Khaldun

27 Februari 2018   10:35 Diperbarui: 27 Februari 2018   10:41 761
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam era informasi ini, banyak sekali tulisan-tulisan beredar dan kita bisa mendapatkan pengetahuan dengan mudahnya, kita juga bisa menulis tulisan kita sendiri dengan mudahnya. Masalahnya, kemudahan ini pun menjadikan buku-buku yang diterbitkan menjadi berkurang kualitas isinya, dan tidak jarang kita menemukan buku yang isinya tidak bermanfaat. Akhirnya buku hanya sekedar menjadi komoditas pemasaran saja, namun sedikit sekali buku-buku yang dikenang oleh sejarah dijadikan pembelajaran dari masa ke masa.

Setiap penulis tentu mengharapkan tulisannya dapat bermanfaat bagi orang lain. Namun, lebih dari itu, kita sebagai penulis menginginkan agar tulisan kita bisa bermanfaat tidak hanya sekarang, tapi terus menerus dari masa ke masa. Ketika kita meninggal, dunia akan terus mengingat kita lewat karya.

Dengan kondisi dunia kepenulisan yang penuh kompetisi ini, semakin lama kita lupa apa tujuan awal kita menulis. Kita akhirnya menuliskan apa saja yang bisa laku di pasar, melupakan isi dan bobot tulisan. Buku-buku yang kita terbitkan akan laku sekali jual saja, tapi tidak pernah menjadi karya besar kita, yang bisa membuat kita diingat dunia. Jika kita menuliskan karya yang berkualitas, maka sukses akan mengikuti. Lalu bagaimana caranya?

Ibnu Khaldun, seorang sejarawan besar Islam, menuliskan karya besar dalam bukunya berjudul Muqaddimah. Buku ini telah menjadi rujukan utama ilmu-ilmu sejarah, dan terus digunakan hingga sekarang. Dalam pendahuluan buku itu, Ibnu Khaldun memberikan kita hikmah bagaimana ia bisa menghasilkan karya besar tersebut.

Muqaddimah

Muqaddimah karya Ibnu Khaldun berisi tentang ilmu sejarah, bagaimana sejarah bisa bermanfaat bagi kita untuk memahami kebenaran masa lalu, atau bahkan memprediksi masa depan. Ia menuliskan ini karena melihat sarjana generasinya dan selanjutnya tidak menelaah sejarah dengan baik. Lewat karyanya, dia berharap akan membuka pikiran dan membuat sejarawan yang akan datang lebih kritis dalam melihat sejarah, tidak sekedar mengutip tanpa memberikan analisa kritis. Dia mempersembahkan karyanya tersebut untuk perpustakaan, yang kemudian digandakan untuk dibaca para ilmuan.

Kita bisa belajar banyak hal dari Ibnu Khaldun. Bagaimana agar bisa menjadi penulis sukses dan menciptakan karya-karya besar.

1. Tidak Menginginkan Harta dan Ketenaran

Standar sukses yaitu menjadi orang kaya dengan berbagai bidang dan profesi sudah menjadi paham yang dianut oleh mayoritas masyarakat modern. Kita ingin menjadi penulis yang sukses--dimaknai dengan penulis yang tulisannya bisa menjadi best-seller, mendapatkan royalti banyak dan menjadi artis dadakan seperti J.K. Rowling. Nama kita akan terpatri dalam sejarah, plus jadi milyuner. Memang menginginkan harta dan ketenaran tidak bisa dipungkiri zaman modern seperti ini.

Coba kita tengok Ibnu Khaldun. Pada zamannya, menulis buku tidak diperjualkan seperti di toko-toko buku seperti sekarang. Tapi ingat, Ibnu Khaldun memberikan karyanya ke perpustakaan, bukan berarti memberikan secara gratis ke perpustakaan. Memberikan ke perpustakaan pada saat itu artinya memberikan karya kepada Raja, dan apabila Raja menganggap karya tersebut bagus, akan diberikan uang yang banyak oleh Raja, sekaligus kelas sosial dan ketenaran. Bahkan pada masa kejayaan Dinasti Abbasiyah sebelumnya, menulis buku akan digaji dengan emas seberat buku itu.

Mari kita bayangkan, mungkin tidak sedikit para cendikiawan yang menginginkan harta dan kedudukan yang diberikan langsung oleh Raja. Sama seperti sekarang orang banyak menginginkan gaji banyak dari royalti dan jadi populer seperti artis. Tantangan untuk mengendalikan motivasi berkarya bisa jadi sama, meskipun konteks kita dan zaman Ibnu Khaldun berbeda.

Karena dorongan harta dan ketenaran, barangkali para penulis pada zaman itu menulis buku sebagus mungkin, walau analisanya dangkal dan menyesatkan. Di zaman sekarang, karena dorongan harta dan ketenaran, para penulis menulis buku sebaik mungkin, walau tidak memiliki amanat untuk disampaikan alias kosongan. Akibatnya adalah, memang bisa mendapatkan kekayaan dan ketenaran secara instan dan cepat, tapi tidak menjamin bahwa tulisan ini akan menjadi karya besar yang akan diingat sejarah. Barangkali hanya tenar selama 50 tahun kemudian diam berdebu di rak-rak yang jarang disentuh. Tidak untuk berabad-abad lamanya.

Lalu bagaimana? Saran saya adalah, mari coba kita menata ulang motivasi menulis kita terhadap uang dan popularitas. Uang dan popularitas adalah balas jasa atas kerja keras kita dalam menulis. Karena itu, hal ini adalah bonus atau hadiah kesuksesan. Namun, bukan sebagai tujuan. Ambillah tujuan lain yang lebih berharga.

2. Menginginkan Perbaikan

Jika tidak menjadikan kekayaan dan pupularitas sebagai tujuan, lalu apa yang sebaiknya kita inginkan? Saya tidak hendak membatasi tujuan dan keinginan masing-masing orang. Namun, pelajaran yang bisa saya petik dari Ibnu Khaldun adalah motivasinya yakni menginginkan perbaikan atas generasi sejarawan selanjutnya.

Ibnu Khaldun melihat masalah yang sedang berlangsung, yakni sejarah yang dimaknai dengan dangkal, dipercaya begitu saja, sehingga sejarah yang benar dengan sejarah yang dikaburkan menyatu dan menyesatkan. Dia melihat pula, bagaimana para generasi muda yang mempelajari sejarah dengan ikut saja gurunya, tanpa mempertanyakan dan mencari tahu akan kebenaran. Sehingga apabila sejarah yang disampaikan gurunya itu palsu, murid begitu saja menerima, dan kemudian ketika dia sudah menjadi guru, menyampaikan sejarah yang salah itu kepada muridnya dan seterusnya.

Jika kepalsuan seajarah dan para ilmuan yang salah ini dibiarkan, tentu saja akan menimbulkan kekacauan. Ibnu Khaldun tidak menginginkan hal ini terjadi. Dia peduli pada lingkungan dan masa depan peradaban. Ia menginginkan perbaikan. Ada pun kekayaan dan ketenaran yang akan didapatkannya kemudian, bahkan setelah kematian, adalah balasan yang setimpal atas kepeduliannya atas masalah yang sedang terjadi ini.

Perbedaan atas penulis yang menulis untuk harta dan ketenaran adalah para penulis dengan tujuan harta dan ketenaran mau menuliskan apa pun, asal diterima dan disukai oleh pembaca. Sehingga masuk akal apabila generasi berganti, kesukaan pembaca berganti, karya mereka tidak akan lagi disukai dan menjadi tumpukan di antara buku berdebu. Jika menulis untuk perbaikan, masalah yang menjadi isu Penulis akan selalu ada dari zaman ke zaman. Sehingga zaman berganti pun buku ini masih dibutuhkan. Inilah kunci menulis buku yang akan dikenang sejarah.

3. Mengetahui Pemecahan dan Mampu Menyampaikan

Saya mengakui, point ini adalah point terpenting dan barangkali yang menjadikan nilai suatu karya. Hal yang bisa kita petik dari Ibnu Khaldun ini adalah bahwa kita tidak bisa membuat karya secara instan. Banyak penulis yang menggebu-gebu untuk menyampaikan pemahaman mereka kepada dunia. Namun, di sisi lain mereka sebenarnya sedang mempelajari pemahaman itu dan belum mengerti sepenuhnya. Karya yang berasal dari pemahaman parsial akan menjadi karya parsial. Karya semacam ini tidak akan menjadi karya besar. Jadi kita memang harus memiliki suatu konsep atau ide yang telah digondok matang-matang, yang berdasarkan perhitungan kita mampu memecahkan masalah sesuai tujuan perbaikan.

Untuk dapat melakukannya, kita harus mengasah kemampuan dan terus belajar. Karya yang kita hasilkan adalah gambaran atas kemampuan kita. Apabila kemampuan kita bagus, maka karya yang akan kita hasilkan berkualitas serupa pula. Coba bayangkan jika Ibnu Khaldun mengetahui masalah bahwa ilmuan pada masanya tidak tajam dalam mengkritik sejarah, lalu dia mencoba menyampaikan gagasannya itu kepada dunia, namun sebenarnya dia tidak menemukan solusi bagaimana seharusnya. Tulisannya hanya akan menjadi opini belaka, bukan karya besar. 

Tulisan Muqaddimah Ibnu Khaldun menjadi karya besar karena memberikan pemecahan atau solusi yang bisa terapkan, yakni metode analisa sejarah yang bisa digunakan para sejarawan untuk menginterpretasikan sejarah dengan baik, sehingga para sejarawan selanjutnya bisa memahami sejarah dengan benar. Tanpa memberikan solusi itu, mana mungkin bukunya dapat menjadi karya besar? Mana mungkin pula Ibnu Khaldun mengetahui bagaimana menginterpretasikan sejarah dengan benar kalau tidak belajar dan menuntut ilmu?

Jadi, apa yang kita tuliskan adalah apa yang telah kita pikirkan matang-matang, sehingga mampu benar-benar menyelesaikan masalah yang menjadi tujuan kita tadi. Agar mampu membuat konsep tulisan yang matang, kita perlu belajar, berlatih, dan terus mengasah kemampuan. Balasan yang besar tidak pernah dengan usaha instan.

Entah itu novel atau jurnal, fiksi atau non-fiksi, seorang penulis dan karya besarnya memiliki ciri khas yang sama. Engkau akan menemukan ketiga hal ini dalam Pramoedya Ananta Toer dan Bumi Manusia-nya. Dalam Nicollo Machiavelli dan Il Principe-nya. Atau dalam Sun Tzu dan Art of War-nya. Bahkan dalam William Shankespeare dan Romeo Juliet-nya.

Benar kata pepatah, "Dengan menulis, kita pun belajar." Apa pun karyamu, tuliskan dengan segenap hatimu. Bukan hanya modal semangat saja, tetapi juga keringat dan lelah. Kita bisa mencatatkan nama kita dengan tinta emas sejarah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun