Karena dorongan harta dan ketenaran, barangkali para penulis pada zaman itu menulis buku sebagus mungkin, walau analisanya dangkal dan menyesatkan. Di zaman sekarang, karena dorongan harta dan ketenaran, para penulis menulis buku sebaik mungkin, walau tidak memiliki amanat untuk disampaikan alias kosongan. Akibatnya adalah, memang bisa mendapatkan kekayaan dan ketenaran secara instan dan cepat, tapi tidak menjamin bahwa tulisan ini akan menjadi karya besar yang akan diingat sejarah. Barangkali hanya tenar selama 50 tahun kemudian diam berdebu di rak-rak yang jarang disentuh. Tidak untuk berabad-abad lamanya.
Lalu bagaimana? Saran saya adalah, mari coba kita menata ulang motivasi menulis kita terhadap uang dan popularitas. Uang dan popularitas adalah balas jasa atas kerja keras kita dalam menulis. Karena itu, hal ini adalah bonus atau hadiah kesuksesan. Namun, bukan sebagai tujuan. Ambillah tujuan lain yang lebih berharga.
2. Menginginkan Perbaikan
Jika tidak menjadikan kekayaan dan pupularitas sebagai tujuan, lalu apa yang sebaiknya kita inginkan? Saya tidak hendak membatasi tujuan dan keinginan masing-masing orang. Namun, pelajaran yang bisa saya petik dari Ibnu Khaldun adalah motivasinya yakni menginginkan perbaikan atas generasi sejarawan selanjutnya.
Ibnu Khaldun melihat masalah yang sedang berlangsung, yakni sejarah yang dimaknai dengan dangkal, dipercaya begitu saja, sehingga sejarah yang benar dengan sejarah yang dikaburkan menyatu dan menyesatkan. Dia melihat pula, bagaimana para generasi muda yang mempelajari sejarah dengan ikut saja gurunya, tanpa mempertanyakan dan mencari tahu akan kebenaran. Sehingga apabila sejarah yang disampaikan gurunya itu palsu, murid begitu saja menerima, dan kemudian ketika dia sudah menjadi guru, menyampaikan sejarah yang salah itu kepada muridnya dan seterusnya.
Jika kepalsuan seajarah dan para ilmuan yang salah ini dibiarkan, tentu saja akan menimbulkan kekacauan. Ibnu Khaldun tidak menginginkan hal ini terjadi. Dia peduli pada lingkungan dan masa depan peradaban. Ia menginginkan perbaikan. Ada pun kekayaan dan ketenaran yang akan didapatkannya kemudian, bahkan setelah kematian, adalah balasan yang setimpal atas kepeduliannya atas masalah yang sedang terjadi ini.
Perbedaan atas penulis yang menulis untuk harta dan ketenaran adalah para penulis dengan tujuan harta dan ketenaran mau menuliskan apa pun, asal diterima dan disukai oleh pembaca. Sehingga masuk akal apabila generasi berganti, kesukaan pembaca berganti, karya mereka tidak akan lagi disukai dan menjadi tumpukan di antara buku berdebu. Jika menulis untuk perbaikan, masalah yang menjadi isu Penulis akan selalu ada dari zaman ke zaman. Sehingga zaman berganti pun buku ini masih dibutuhkan. Inilah kunci menulis buku yang akan dikenang sejarah.
3. Mengetahui Pemecahan dan Mampu Menyampaikan
Saya mengakui, point ini adalah point terpenting dan barangkali yang menjadikan nilai suatu karya. Hal yang bisa kita petik dari Ibnu Khaldun ini adalah bahwa kita tidak bisa membuat karya secara instan. Banyak penulis yang menggebu-gebu untuk menyampaikan pemahaman mereka kepada dunia. Namun, di sisi lain mereka sebenarnya sedang mempelajari pemahaman itu dan belum mengerti sepenuhnya. Karya yang berasal dari pemahaman parsial akan menjadi karya parsial. Karya semacam ini tidak akan menjadi karya besar. Jadi kita memang harus memiliki suatu konsep atau ide yang telah digondok matang-matang, yang berdasarkan perhitungan kita mampu memecahkan masalah sesuai tujuan perbaikan.
Untuk dapat melakukannya, kita harus mengasah kemampuan dan terus belajar. Karya yang kita hasilkan adalah gambaran atas kemampuan kita. Apabila kemampuan kita bagus, maka karya yang akan kita hasilkan berkualitas serupa pula. Coba bayangkan jika Ibnu Khaldun mengetahui masalah bahwa ilmuan pada masanya tidak tajam dalam mengkritik sejarah, lalu dia mencoba menyampaikan gagasannya itu kepada dunia, namun sebenarnya dia tidak menemukan solusi bagaimana seharusnya. Tulisannya hanya akan menjadi opini belaka, bukan karya besar.Â
Tulisan Muqaddimah Ibnu Khaldun menjadi karya besar karena memberikan pemecahan atau solusi yang bisa terapkan, yakni metode analisa sejarah yang bisa digunakan para sejarawan untuk menginterpretasikan sejarah dengan baik, sehingga para sejarawan selanjutnya bisa memahami sejarah dengan benar. Tanpa memberikan solusi itu, mana mungkin bukunya dapat menjadi karya besar? Mana mungkin pula Ibnu Khaldun mengetahui bagaimana menginterpretasikan sejarah dengan benar kalau tidak belajar dan menuntut ilmu?