Kelima, hendaknya mempunyai daya tanggap yang meningkat dan cepat dalam merespon permasalahan yang muncul.
Untuk itulah, diperlukan jaringan atau organisasi yang mampu mempertemukan di antara fuqaha’ untuk sama-sama menanggapi masalah yang ada.
Keenam, penafsiran yang aktif dan bahkan juga progresif, yaitu jawaban hukum Islam yang juga sekaligus mampu memberi inspirasi untuk kehidupan yang dialami umat.
Ketujuh, ajaran al-ahkâm al-khamsah atau hukum Islam berupa wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah agar dapat dijadikan konsep atau ajaran etika sosial.
Kedelapan, menjadikan ilmu fikih (‘ilm al-fiqh) sebagai bagian dari ilmu hukum secara umum, yaitu memposisikan bahasa ilmu fikih yang mencakup masalah-masalah kehidupan umat yang sama dengan materi atau objek kajian dalam ilmu hukum pada umunya.
Kesembilan, mendekati fikih yang juga berorientasi pada kajian induktif atau empirik, di samping deduktif. Pendekatan induktif dimaksudkan sebagai penyertaan peran akal pada posisi yang sangat penting dalam membantu mewujudkan hasanah fi al-dunya dan hasanah fi al-âkhirah.
Kesepuluh, hendaknya menjadikan konsep mashalih ‘ammah menjadi landasan penting dalam mewujudkan fiqih atau hukum Islam.
Kesebelas, menjadikan wahyu Allah lewat nushûsh al-Qurân wa as-sunnah al-shahîhah (teks-teks al-Quran dan sunnah yang shahih) sebagai kontrol terhadap hal-hal yang akan dihasilkan dalam ijtihad. Kontrol yang dimaksud lebih menekankan pada konsep etika dengan mengacu pada al-mashâlih al-’ammah.
Konsep baru dalam bermazhab dapat dinyatakan dengan pernyataan penting: “siapa pun boleh bermazhab tanpa kehilangan ruh ijtihad. Dan siapa pun yang berijtihad tidak dilarang untuk bermazhab tanpa harus terikat dengan metode dan pendapat para imam mazhab.
Memahami Muhammadiyah Melalui Pemikiran Keagamaannya
KHA. Dahlan memahami bahwa al-Quran adalah sumber utama yang menjadi rujukan baku untuk siapa pun, di mana pun dan kapan pun dalam ber-(agama)-Islam. Konsep normatif Islam sudah tersedia secara utuh di dalamnya (al-Quran) dan sebegitu rinci dijelaskan oleh Rasulullah s.a.w. di dalam sunnahnya, baik yang bersifat qaulî, fi’lî dan taqrîrî. Hanya saja apa yang dikerjakan oleh Rasulullah s.a.w. perlu diterjemahkan ke dalam konteks yang berbeda-beda, dan oleh karenanya “memerlukan ijtihad”.